Sabtu, 30 Januari 2010

Menyebar

Teman semua!

Meskipun saya komunitas baru di dunia blog, namun saya mencoba senatiasa mengajak diri saya untuk konsisten belajar untuk maju dan maju untuk belajar, meskipun saya sudah tidak muda lagi!

Mengapa?

Sebaik-baik insan adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain, tentunya dalam konteks kebaikan dalam kebenaran, bukan sekedar baik untuk satu atau beberapa orang, tetapi kebaikan untuk semua orang (good for all).

Ingat!
Istilah "Educational for all"! Ya, kita hendaknya mendorong semua untuk belajar dan belajar untuk semua. Ah kok dibolak-balik! Ngga juga! Karena itu fenomena alam, yang bila kita konsisten akan menciptakan momentum kemajuan untuk diri dan semua! Manusia secara harfiah berupaya maju ke depan, hanya tingkat keberanian, kemauan, dan peluang yang berbeda. Tapi semua itu bisa di upayakan!

Catatan kecil ini mendorong diri saya membuat blog, menulis artikel, meneliti, menulis buku, dan sebagainya. Pada akhirnya, apa yang saya lakukan pada titik awal untuk pembelajaran diri sendiri, selanjutnya untuk anak dan istriku mau belajar, mahasiswa calon guru yang sebenarnya saya cintai (meskipun banyak yang tidak suka pada saya) untuk progresif mengimprov diri secepat mungkin (mahasiswa calon guru adalah pemimpin dari calon pemimpin), guru-guru SD, dan semuanya untuk senantiasa belajar. Belajar tak kenal usia, waktu, tempat. Kapanpun, di manapun, dengan cara apapun manusia bisa belajar.

Anak dan istriku!

Bergeraklah maju dalam belajar apa saja, jangan pikirkan itu bermanfaat atau tidak, karena manfaat akan kita peroleh jika momentum itu terjadi. Sayang, kita tidak tahu kapan momentum itu akan datang! Tetapi yakinlah, apa yang kita lakukan dan konsisten lakukan akan melahirkan momentum!

Teman mahasiswa dan Guru-guru!

Suatu kali atau barangkali seringkali! Anda merasa marah bahkan benci pada apa yang saya lakukan kepada Anda. Apalagi secara persepsional, itu saya saya sadari akan terjadi. Karena apa! Teman-teman baru melihat, merasakan, bahkan sampai melakukan baru berdasar persepsi dan cara pandang menurut sisi kepentingan Anda, bahkan menggunakan parameter Anda! Yuk! kita coba belajar mengapa kita belajar! Mengerti mengapa kita mengajar siswa kita!

Pesan saya!
Cobalah memahami apa sebenarnya makna terdalam dari fenomena yang terjadi manakala kita bertemu dalam perkuliahan, seminar, bincang-bincang pendidikan, atau di segala kesempatan. Lagi! Coba teman pikirkan lebih dalam, bagaimana masa depan anak-anak didik kita? Apakah cukup kita beri nilai bagus, kemudian mereka menjadi seseorang!!! Tentu tidak bukan!

Jadi!

Reversible thinking sangat diperlukan dalam memahami apa yang dilakukan orang lain, maka kita akan memahami mengapa orang lain berbuat seperti itu! Mengapa Soekarno tidak memerintah untuk melawan, karena beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah! Mengapa Gandhi bersedia menjalankan hidup demikian, karena beliau ingin memperoleh kebebasan hakiki! Setiap perilaku tentu memiliki latar, mengapa seseorang berperilaku!

Guru/dosen memiliki visi!
Bagaimana kita mampu memberikan sumbangan memperbaiki dan meningkatkan kualitas siswa dan mahasiswanya, meskipun apa yang dilakukan tidak populer, beresiko tidak disukai ataupun justru dibenci. Bila, guru/dosen goyah terhadap misinya dan mementingkan popularitas, disukai, dihormati, dianggap baik, maka sebenarnya dosen/guru telah menyerahkan visi dan mungkin dirinya dikendalikan oleh tingkat kebutuhan yang rendah dan rentan akan idealisme seorang profesional.

Ini bukan pembelaan!

Hidup adalah pilihan! Andai kita bisa menghargai pilihan kita, teman kita, dan kebanyakan, selanjutnya kita tidak memaksakan untuk sesuai dengan pilihan kita tentu akan indah. Sayang itu belum tercapai dan itulah kehidupan yang penuh variasi, kalau sama tentu justru bukan kehidupan! Lebih penting adalah mencoba saja memahami apa yang dilakukan orang lain dengan mencoba berada pada posisi orang tersebut, mungkin kita akan menjadi insan pemaklum, syukur pemaaf.

Belajar dan bekerja maju ke depan memerlukan berbagai usaha dan perjuangan bukan!

Nah, teman-teman mahasiswa!
Mari belajar untuk maju dan maju untuk belajar! Tidak memilih menjadi pengikut dibelakang yang berteriak dan bergosipria karena kita tidak mau atau hanya karena tidak sesuai selera.

Meskipun tidak mudah, memaksa diri itu penting, menstimulasi diri itu perlu, menghibur dan bangga terhadap diri itu harus (tapi terkendali), dan maju itu wajib!!!

Amin, selamat bergabung di blog ini, semoga membantu Anda belajar! Dan banyak artikel bisa Anda baca di Kompas.com, sesi Kompasiana.

Selasa, 12 Januari 2010

Pembelajaran Terpadu IPA Kelas III SD

PEMBELAJARAN TERPADU IPA KELAS III SD

Y. PADMONO[1]

ABSTRAK

The objective of this study were to find out the effectiveness of integrated instruction of science compared to conventional instruction and which aspects of learning is tntegrated instruction better than the conventional instruction.

This experimental research was conducted during the 2rd period of academic year 2003-2004 at the Elementary Schools of Kebumen Central Java. The sample consited of 200 grade III Elementary School Children, which was taken randomly from population of 2114 children. The sample was devided into two groups. The design used for this research was Randomized Two Groups Pre and Posttest. The instruments used in this study consisted of: (1) a test to measure the comprehention of concepts r=0.70 and (2) an observation sheet to measure process skills r = 0.93. Anacova one way was used to analyze the data obtained with pre test as covariat.

The results of the study revealed that: (1) pupils comprehention of concepts of science in integrated instruction of science (PKT) is better than that of students using conventional instruction (PKK) Fo= 14.782>Ft = 6.81 at p<0.01>μPKT=27.99 >μPKK=26.49, (2) the process skills of pupils in integrated instruction (KPT) is better than that of students using conventional instruction (KPK) Fo = 78.064 > Ft = 6.81 at p<0.01>μKPT = 42.128 > μKPK = 28.422.

It is hoped that tis study will be beneficial in improving the quality of science teaching in grade III Elementary Schools by using integrated instruction.

Kata Kunci: Pembelajaran Terpadu, konsep, dan keterampilan proses.

A. Pendahuluan

Pada hakikatnya, pendidik menghadapi anak didik dapat dipersamakan dengan membuat konstrusi pembangunan bangsa di masa datang, terutama siswa sekolah dasar. Konsekuensinya, mendidik dan mengajar bukanlah suatu pekerjaan sederhana, tetapi pekerjaan kompleks yang memerlukan profesionalisme.

Tujuan elementer penddikan dasar pada penggal pertama adalah memberikan bekal kemampuan “Baca-Tulis-Hitung”, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi murid sesuai tingkat perkembangannya serta mempersiapkan mereka mengikuti pendidikan di SLTP (Kepmendikbud Nomor 060/U/1993).

Pemberian bekal kemampuan “Baca-Tulis-Hitung”, pengetahuan dasar dan keterampilan dasar dapat efektif bila dilaksanakan dengan memperhatikan dan menyatukannya dalam kehidupan sehari-hari anak, serta peluang interaksi intensif antara guru, siswa, dan materi (Sue Bredekamp, 1987:2-5). Roeseau menyatakan pembelajaran pada anak harus bersifat alamiah dan tidak dipaksakan. Tugas orang tua adalah menyediakan lingkungan kondusif sehingga anak dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin (Morrow, 1993:4-9).

Selanjutnya Bredekamp menyatakan pembelajaran pada anak hendaknya menyesuaikan dengan usia dan individu (Bredekamp, 1987:2-8). Artinya pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak yang secara sekuensial dapat diramalkan serta karakteristik masing-masing individu. Anak usia 6-8 tahun sangat aktif bergerak, kemampuan bahasa verbalsangat banya, perhatian pada permainan dan aturannya, maka pembelajaran manipulatif, hands on activity, bermain merupakan model pembelajaran yang efektif (Bredekamp, 1987:6).

Raka Joni mentyatakan pada jenjang pendidikan sekolah dasar menghayati pengalamannya secara totalitas dan mengalami kesulitan dengan pemilahan-pemilahan artificial (Raka Joni, 1996:1). Pestalozi menyatakan pembelajaran disamping disampaikan secara alami, juga harus dilaksanakan secara informal. Frobel menyatakan pembelajaran anak efektif melalui bermain, sedangkan Dewey menyatakan pentingnya minat belajar dan bermain dalam kehidupan nyata merupakan media belajar efektif. Belajar pada anak akan efektif bila melalui pendekatan integrative. Selanjutnya Piaget menyatakan kematangan bersifat alami, memberikan pengalaman asbstrak akan sia-sia kepada anak yang berada pada fase operasional konkrit (morrow, 1993:9).

Fakta di sekolah-sekolah pembelajaran dilaksanakan dengan orientasi penekanana pada pengetahuan dan mengabaikan berbagai tujuan pembelajaran. Di samping itu pembelajaran yang dikembangkan guru masih terpusat pada aktivitas guru dengan mengabaikan peran serta siswa sebagai subjek didik. Akibatnya, pembelajaran hanyalah merupakan proses memorisasi yang artificial dengan mengabaikan pembekalan esensial pembelajaran yang mempersiapkan siswa sebagai pemegang amanah pembangunan bangsa di masa datang.

Demikian juga dalam pembelajaran IPA yang seharusnya dilakuknan dengan melibatkan anak secara aktif dalam kegiatan-kegiatan alami, justru dilakukan dengan memorisasi berbagai pengetahuan dengan mengabaikan proses sebagai hal esensial dalam belajar IPA.

1. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA-sains) merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah, antara lain: penyelidikan, penyusunan, dan pengujian gagasan-gagasan. IPA merupakan program untuk menanamkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai ilmiah siswa serta mencintai dan menghargai kebesaran Tuhan Yang Maha Esa (Depdikbud, 1995:53).

IPA berusa mengembangkan keterampilan proses, wawasan, sikap, dan nilai yang berguna bagi siswa untuk peningkatan kualitas hidup, kesadaran adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara kemajuan IPA dan teknologi dengan keadaan lingkungan dan pemanfaatannya, kemampuan menerapkan ilmu dan teknologi, serta keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari (Depdikbud, 1995:53).

Secara eksplisit tujuan pendidikan IPA adalah (1) memahami konsep-konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari, (2) memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan, wawasan tentang alam sekitar, (3) memiliki minat mengenal dan mempelajari benda-benda serta kejadian di lingkungan sekitar, sikap rasa ingin tahu, tekun, terbuka, kritis, mawas diri, tanggung jawab, kerja sama, dan mandiri, (4) mampu menerapkan konsep-konsep IPA untuk menjelaskan gejala alam dan memecahkan masalah sehari-hari, (5) menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah sehari-hari, (6) mengenal dan memupuk rasa cinta alam sekitar, sehingga menyadari kebesaran Tuhan Yang Maha Esa (Depdibud, 1995:54).

Nash menyatakan IPA merupakan cara memandang dunia seacra analitis, lengkap, serta menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain, sehingga keseluruhan membentuk suatu perspektif yang baru tentang objek yang diamati. Demikian juga Sund menyatakan suatu system untuk mengetahui alam dan selanjutnya IPA dianggap sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang berfungsi menjelaskan apa yang diperoleh (Hendro Darmodjo dan Kaligis, 1993:3).

Cain dan Evans menyatakan IPA memiliki 4 sifat dasar, yaitu: konten dan produk, proses, sikap, dan teknologi (Cain dan Evans, 1990:2-6). Wolfinger menyatakan IPA memiliki 3 sifat dasar, yaitu: konten, proses, dan sikap (Wolfinger, 1994:241).

IPA sebgai konten mencakup pengetahuan yang telah dikembangkan oleh ahli. Konten mencakup fakta, hokum, prinsip, dan teori IPA yang telah diseleksi secara teliti yang disesuaikan dengan karakteristik siswa sebagai subjek didik (Wolfinger, 1994:241). IPA sebagai proses memberikan bekal ketyerampilan proses, yaitu teknik atau prosedur yang digunakan ilmuwan untuk memperoleh dan memproses ilmu. Keterampilan proses untuk anak sekolah dasar kelas III, antara lain: mengamati, mengklasifikasi, mengukur, mepreduksi dan mengkomunikasikan. IPa sebagai sikap mencakup pengembangan rasa ingin tahu, objektif, perhatian pada lingkungan yang positif. IPA sebagai teknologi mempersiapkan anak menghadapi dunia masa datang.

Ke empat sifat dasar IPA diberikan kepada anak secara terpadu, dimensi satu sekaligus mencakup dimensi-dimensi yang lain.

2. Perkembangan Anak

Anak kelas III sekolah dasar berusia antara 8-10 tahun yang berada pada fase operasional konkrit dengan karakteristik perkembangan, antara lain:

(1) berkembang secara holistik: Perkembangan anak mencakup seluruh ranah yang berlangsung secara bersama-sama dan menyeluruh (holistic). Bredekamp menyatakan premis penting perkembangan manusia, bahwa seluruh ranah perkembangan: fisik social, emosi, moral, dan kognitif berlangsung secara terpadu. Perkembangan satu ranah/dimensi mempengaruhi dan dipengaruhi ranah/dimensi lain (Bredekamp, 1987:63). (2) perkembangan fisik; Pada masa operasional konkrit awal perkembangan fisik cenderung perlahan. Anak telah mempunyai kemampuan mengontrol tubuhnya, dapat duduk dan memperhatikan dalam jangka waktu yang lama, tetapi masih jauh dari kematangan secara fisik dan tetap membutuhkan kegiatan-kegiatan untuk memahami konsep-konsep abstrak (Bredekamp, 1987:63). Aktivitas fisik akan memperhalus perkembangan keterampilan-keterampilan. Kekuatan fisik dan kemampuan mengontrol fisik juga meningkatkan rasa aman anak. Aktivitas fisik merupakan hal vital untuk pertumbuhan kognitif, ketika dihadapkan pada konsep-konsep abstrak.

(3) perkembangan kognitif; anak kelas III sekolah dasar berusia antara 8-9 tahun merupakan masa awal dari perubahan pra operasional ke operasional konkrit. Anak telah mampu berpikir simbolik dan mampu memecahkan masalah-masalah dengan menggunakan symbol-simbol seperti huruf dan angka. Akan tetapi kemampuan berpikir dan memecahkan masalah dengan menggunakan symbol belum setaraf orang dewasa. Anak tetap memerlukan bantuan benada-benda nyata untuk memperjelas pemahaman konsep (Bredekamp, 1987:64). Purnami SUbekti menyatakan pada usia ini anak aktif bergerak dan mempunyai perhatian besar pada lingkungan. Anak memandang lingkungan secara konkrit yang secara berangsur-angsur berubah seiring bertambahnya umur dan pengalaman anak (Sri Purnami Subekti, 1995:63). Selanjutnya Bredekamp mempertegas pada anak usia ini sangat aktif dan banyak bergerak. Ia mempunyai kemampuan verbal yang baik dan perhatian besar pada bermacam permainan dan aturan bermain. Rasa ingin tahu berkembang pesat, mereka ingin tahu apa yang dijumpai dan apa yang terjadi di lingkungannya (Bredekamp, 1987:2-8). Pada usia ini anak memperoleh kecakapan untuk menunjukkan logika operasional dasar, tetapi melalui pengertian konkrit (Sandra Cain dan Jack M. Evans, 1990:2-8). Anak mampu berpikir logis, fleksibel, mengorganisasi dalam aplikasi konkrit.

(4) perkembangan social emosional; Pasa fase ini anak memperhatikan teman sebaya. Keinginan berteman dan bersahabat sangat besar. Bersamaan dengan itu berkembang kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Ia akan bahagia dan puas dapat berprestasi dalam kelompok, sebaliknya kecewa bila tidak diterima kelompok (Bredekamp, 1987:64). Anak sering menjadi rendah diri karena mendapat nilai rendah disbanding temannya. Hal ini dapat menimbulkan gangguan emosional dan mendorong anak menjadi pengusik kelas, sebagai wujud dari keinginan untuk tidak dipandang rendah guru dan teman (Purnami, 1995:114). Pada usia ini anak mampu membedakan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, sesuai atruan masyarakat. Kesadaran moralsangat kuat, emreka menilai kesalahan kecil sebagai kesalahan besar. Mulai usia 6 tahun anak mulai memahami moral dalam perilaku dan memperoleh kata hati, sehingga dapat membedakan perbuatan baik dan buruk (Bredekamp, 1987:64).

(5) Karakteristik belajar belajar anak sekolah dasar, ditunjukkan cara belajar yang dilakukan tidak terlepas dari karakteristik perkembangannya, ia belajar sambil bekerja. Melalui keterlibatan aktif dengan lingkungan, mereka memperoleh pengertian tentang dunia sekitarnya. Ia belajar dengan mengamati peristiwa, interaksi dengan materi dan orang dewasa. Anak secara spontan melibatkan diri dalam kegiatan, seperti: membangun balok, menggambar atau bermain drama (Diane Trister Dodge, 1988:1). Selanjutnya Bredekamp menyatakan belajar pada anak berlangsung dengan bekerja dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Bredekamp, 1987:51). Anak usia operasional konkrit belajar dan bekerja melalui kegiatan kerja nyata dan interaksi dengan teman sebaya, orang tua, dan guru. Anak tumbuh secara holistic, sehingga pelajaran disekolah harus dirancang secara luwes dengan tidak mengkotak-kotakkan bahasan secara artificial. Henkel dan Argondizza (dalam Bredekamp, 1987:63) menyatakan sesuai perkembangan anak, rancangan kurikulum dapat menggunakan topic-topik bahasan yang diambil dari kejadian-kejadian aktuial dimasyarakat yang dinilai guru sesuai untuk anak sekolah dasar. Dengan demikian pembelajaran yang sesuai dengan anak usia operasional konkrit tidak terpisah dalam mata pelajaran secara kaku, tetapi terjalin dalam sebuah integrasi yang sinergis fungsional sesuai dengan topic-topik yang menarik perhatian untuk dipelajari anak. Raka Joni menyatakan pada anak sekolah dasar menghayati pengamalaman sebagai totalitas, dan ia mengalami kesulitan dengan pemilahan-pemilihan yang bersifat artificial (Raka Joni, 1996:1).

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran ini sampai saat ini masih mendominasi dalam pelaksanaannya di lapangan. Pembelajaran ini menggunakan strategi deduktif dengan langkah-langkah: (a) apersepsi, yaitu penggunaan pengetahuan awal yang dikuasai untuk mengantar ke materi baru, (b) kegiatan inti, meliputi: penyajian materi, tanya jawab/mengerjakan tugas, dan mencatat atau generalisasi. Pembelajaran dengan model ini, sering mengabaikan tingkat kesukaan dan ketertarikan anak, miskin dalam pelibatan anak dalam pembelajaran terutama dalam perencanaan, terutama keterlibatan aktif pada dimensi mental. Anak memang aktif dalam bekerja, bertanya, menggunakan pengetahuan awal, tetapi rasa suka, ketertarikan, kurang diperhatikan. Akibatnya, dominasi pembelajaran tetap ada ditangan guru. Gurulah penentu arah dan materi pelajaran.

Pembelajaran ini memiliki keunggulan, yaitu: ekonomis, artinya seorang guru dapat melayani satu kelas, terfokus pada guru sehingga materi tidak mengembang kemana-mana. Sedangkan kelemahannya, keterlibatan mental anak rendah, bahasa yang didominasi guru mengakibatkan anak yang memiliki keterbatasan verbal, seulit mengikuti penggunaan bahasa-bahasa guru. Anak kurang dapat berinisiatif mengeksplorasi gagasan, sebab gagasan telah dirancang guru, jauh sebelum pembelajaran dimulai. Kelemahan lain, adalah peristiwa-peristiwa menjadi out off date sering kali terjadi, terutama bahasan yang berkenaan dengan bahasan social ekonomi. Komunikasi lebih banyak terjadi satu arah atau dari atas ke bawah, akibatnya banyak permasalahan pada anak sulit mengemuka untuk segera dicarikan jalan keluarnya.

Ketidak terlibatan mental, tiadanya inisiatif siswa, perencanaan yang terlanjur matang mengakibatkan pembelajaran menjadi kaku. Berbagai perubahan yang sifatnya segera (immedetially) sering sulit dimasukkan dalam program, akhirnya menjadikan kontradiksi antara materi bahasan dengan fenomena yang terjadi di lapangan. Orientasi tercapainya tujuan pembelajaran, sering mengakibatkan berbagai startegi pembelajaran bermakna yang mendorong aktrivitas siswa mengeksplorasi materi. Khawatir tujuan tidak tercapai, sering guru mengadakan drill, latihan-latihan soal, bahkan dengan les-les dan latihan mengerjakan soal tanpa pernah memahami esensi konsepnya.

Kurikulum yang telah disusun secara nasional, sebenarnya memerlukan adaptasi-adaptasi sesuai daerah, sekolah, kelas, dan individu. Akan tetapi adaptasi ini jarang dapat dilakukan, mengingat keterbatasan kemampuan guru, kesempatan guru berkreasi, dan tuntutan pencapaian tujuan. Pembelajaran konvensional dirancang dengan mengacu pada kurikulum dan langkah pengajaran yang kaku, yaitu: (1) tujuan pembelajaran, (2) materi pelajaran, meliputi: apersepsi, inti (informasi, tanya jawab, dan pengerjaan tugas), evaluiasi. Konstelasi ini bahkan menjadi bias, manakala guru tidak lagi mengorientasikan pada tujuan, tetapi pada penyelesaian materi. Guru tidak memiliki peluang besar untuk mengeksplorasi strategi pemebelajaran yang dapat menarik, bila guru berupayapun hanya terbatas pada bagaimana menyampaikan pelajaran bukan pada bagaimana mendesain materi pelajaran yang selalu menuntut pembahasuan-pembaharuan.

Pembelajaran konvensional kurang memberikan aktivitas maksimal pada anak, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Akbitanya pembelajaran merupakan peristiwa yang megangkan, menuntut, membebani. Akbibatnya, berbagai permasalahan menumpuk dan pada suatu saat akan meledak menjadi permsalahan yang menuntut penyelesaian secara psikologis, social, dan lain-lain. Demikian juga ketiadaan eksplorasi kegiatan anak, mengakibatkan berbagai pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual sebagai dasar dan bekal penguasaan prosesdur pemerolehan dan pemrosesan informasi tidak pernah dikembangkan melalui model pembelajaran ini.

Perancangan pembelajaran konvensional dilakukan dalam beberapa bentuk, antara lain: rencana tahunan, rencana semester/caturwulan, dan rencana pelajaran (satuan pelajaran), dan rencana harian. Berbagai komponen rencana pelajaran satu satuan pelajaran mencakup: (1) tujuan pembelajaran umum dan khusus, (2) kegiatan belajar mengajar, mencakup: materi inti, materi pengayaan, sumber belajar, media pembelajaran, dan (3) evaluasi pembelajaran (Depdikbud, 1994:23)

4. Pembelajaran Terpadu

Pembelajaran terpadu didasarkan pada pendekatan inkuiri dengan melibatkan siswa dalam perencanaan, eksplorasi pembelajaran, melalui curah pendapat gagasan. Pembelajaran mendasarkan pada temusn-temuan di lapangan. Siswa didorong untuk bekerjasama dalam kelompok dan merefleksi bagaimana kegiatan belajar yang telah dilaksanakan, sehingga mereka dapat senantiasa memperbaiki belajarnya sesuai dengan minat dan perbatiannya.

Collin Dixon menyatakan pembelajaran terpadu dapat terlaksana bila terjadi suatu peristiwa otentik atau eksplorasi topic sebagai penggerak kurikulum (Collin and Dixon, 1991:6). Berdasar topic atau peristiwa otentik, maka pembelajaran berdasar pada fakta-fakta lapangan, sehingga menjadi bermakna dan dapat diketahui secara langsung oleh anak. Guru selanjutnya mendorong eksplorasi gagasan tentang pendalaman dan perluasan kajian yang lebih bermakna dan dapat mencakup tuntutan kurikum.

Pembelajaran ini tidak berarti mengabaikan kurikulum, akan tetapi mencoba mengubah pembelajaran yang semula dimulai dengan kurikumum yang titerjemahkan menjadi peristiwa otentik atau topic menjadi penggerak keberartian kurikulum dalam perspektif kehidupan nyata anak. Pembelajaran berdasar peristiwa nyata atau topic yang menjadi perhatian dan minat anak, akan memberikan focus perhatian anak pada topic atau peristiwa tidak lagi pada penguasaan materi secara artificial. Pembelajaran menjadi terbuka (openended) dengan berbagai perluasan dan kedalaman kajian yang ditentukan seberapa mampu guru mendorong anak bereksplorasi dan sebarapa siswa mampu mengesplorasi berbagai komponen lingkungan untuk mempu menguasai seluruh informasi berkaitan dengan peristiwa atau topic yang dibahas.

Bertitik tolak dari peristiwa otentik atau topic pilihan anak, maka pembelajaran sejak awal telah melibatkan aktivitas mental (minat, perhatian, semangat), social (berinterakti dengan lingkungan sekitar), fisik (aktif mencari dan menemukan berbagai informasi yang diperlukan serta bagaimana membuktikan dan menemukan berbagai fakta-fakta lapangan serta keluaasan dan kedalaman materi). Kegairahan belajar akan muncul secara alami, karena pembelajaran melibatkan anak secara penuh, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, refleksi dan evaluasi serta perubahan cara-cara belajar mereka.

Meskipun demikian, pembelajaran tidak dibiarkan sesuai keinginan saja, sebab dalam curah pendapat, berbagai pertanyaan-pertanyaan focus telah memberikan arah bagaimana siswa bekerja mengumpulkan dan memproses informasi (louis de Vries dan Jean Crawford, 1986:8). Selanjutnya Collin dan Dixon menyatakan bahwa topic pembelajaran dipilih harus memperhatikan berbagai faktor, yaitu: minat siswa, miant guru, kebutuhan siswa, waktu (perstiwa-peristiwa khusus pada tahun itu), kurikulum sekolah dan harapan sekolah dan masyarakat (collin dan Dixon, 1991:6).

Pembelajaran terpadu memanfaatkan secara maksimal asas-asas perkembangan, misalnya: melalui pergaulan dengan pengalaman mulai yang bersifat konkrit meningkat ke hal abstrak di satu sisi dan penghayatan pengalaman dilakukan secara holistic di sisi lain ( Raka Joni, 1996:10).

Pembelajaran terpadu secara langsung mengembangkan berbagai keterampilan intelektual anak. Melalui pengamatan peristiwa, klasifikasi, menghitung (mengukur) menginformasikan, membuat tebakan-tebakan akademis yang dilakukan dalam proses belajar mengajar mendorong dikuasainya berbagai keterampilan mengamati, mengklasifikasi, mengukur, memprediksi, mengkomunikasikan, dan berbagai keterampilan intelektual lain. Melalui pembelaran terpadu, sedini mungkin anak anak dipersiapkan untuk menghadapi situasi yang senantiasa terjadi silang lingkungan, konteks, dan perangkat yang bersifat kritis dengan perubahan yang sangat cepat (Conny R Semiawan, 1997:3).

Perancangan pembelajaran terpadu dilakukan secara luwes dengan tetap mengacu pada kurikulum atau tujuan yang ingin dicapai tetapi dikemas melalui pelaksanaan curah pendapat antara guru dan siswa dalam proses perencanaannya. Curah pendapat terfokus pada peristiwa otentik atau topicyang dipilih. Curah pendapat dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan focus yang disusun guru dengan mendasarkan pada kurikulum. Hasil curah pendapat antara lain: apa yang akan dipelajari? Dengan apa mempelajari? Sumber-sumber belajar apa yang dapat digunakan? Bagaimana mempelajari yang efektif? Bagaimana mengukur hasil belajar?

Kajian atau materi pelajaran kemudian disusun dalam suatu jaringan (conten webb) jaringan kegiatan (activity webb). Crawford memberikan panduan langkah-langkah pembelajaran, antara lain: a. memilih topic atau peristiwa otentuk, b. curah pendapat hubungan dengan topic, c. menata urutkan konsep-konsep yang akan dipelajari (contend an bidang studi), d. menentukan sumber-sumber belajar yang akan digunakan, e. memutuskan pertanyaan focus, f. memutuskan berbagai pertanyaan focus yang disepakati, g. menentukan pentingnya proses berpikir, sikap, nilai untuk dikembangkan, h. menyusun format rencana belajar dengan spesifikasi proses berpikir yang dikembangkan (Crafword dan Vries, 1986:41-42).

Collin Dixon menyatakan langkah-langkah pembelajaran terpadu, antara lain: a. topic, b. pertanyaan focus, c. bagaimana mengetahui topic atau pertanyaan focus, d. kegiatan dan menyediakan jawaban, e. kegiatan belajar mengajar (Collin dan Dixon, 1991;:6).

5. Hipotesis

a.1. Terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA melalui pembelajaran konvensional dibanding melalui pembelajaran terpadu

2. Pembelajaran terpadu memberikan pemahaman konsep lebih baik dibanding pembelajaran konvensional

b.1. Terdpat perbedaan keterampilan proses melalui pembelajaran konvensional dibanding melalui pembelajaran terpadu

2. Pembelajaran terpadu memberikan keterampilan proses lebih baik dibanding pembelajaran konvensional

B. Metode Penelitian

1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada kelas III sekoalh dasar catur wulan 3 tahun ajaran 1996/1997, pada bulan Februari 1997-Juni 1997. Tempat penelitian adalah sekolah dasar di Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen.

2. Pendekatan Penelitian;

Rancangan penelitian eksperimen dengan “Randomized 2 Groups Pre and Post Test”. (. Borg dan Gall, 1983:314-216), yang dapat digambarkan sebagai berikut:




Keterangan:

® = Random

T1 = Hasil tes awal kelompok perlakuan

T11 = Hasil tes awal kelompok kontrol

X1 = Perlakuan pembelajaran terpadu

X2 = Kontrol pembelajaran konvensional

T2 = Akhir tes akhir kelompok perlakuan

T21 = Akhir tes akhir kelompok control

3. Populasi dan Sampel;

Populasi adalah seluruh siswa kelas III sekolah dasar se Kecamatan Kebumen sejumlah 2114 siswa, sample sejumlah 200 siswa diambil secara acak melalui dua tahap, yaitu: (1) mengambil secara acak 10 sekoalh dasar sebagai sample penelitian dan kemudian mengundi secara acak 4 SD sebagai kemompok perlakuakn dan 4 SD sebagai kelompok kontrol, (2) memilih secara acak masing-masing 100 siswa dari kelompok control dan kelompok perlakuan.

4. Sumber Data

Sumber data adalah siswa kelas III sekolah dasar

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Pemahaman konsep dilaksanakan dengan tes pemahaman konsep

b. Keterampilan proses diperoleh dengan analisis hasil kerja

6. Kalibarasi

a. Tes pemahaman konsep

Validitas butir, diperoleh setelah instrument diuji coba pada 74 sampel uji coba dan melihat seberapa validitas internal. Daya beda butir dengan indeks daya beda dan tingkat kesukaran butir dengan indeks tingkat kesukaran butir. Reliabilitas diperoleh dengan rumus Alfa Cronbach sebesar 0.70.

b. Keterampilan proses

Validitas lembar kegiatan siswa dengan uji coba terhadap 43 sampel uji coba dan uji validitas internal. Reliabilitas dengan Alpha Cronbach sebersar 0.934.

7. Analisis

Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji persyaratan: (1) uji normalitas data dilakukan dengan uji X2, (2) uji homogenitas dilakukan dengan Correlated Variance, dan (3) uji keberartian dan linearitas tes awal sebagai kovariat atas tes akhir sebagai variat dengan uji F.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Data hasil penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu: hasil tes pemahaman konsep dan keterampilan proses. Data diperoleh melalui pre and post test design. Melalui analisis kovarian (Siswoyo H, 1987:94-99) data hasil tes pemahaman konsep dan keterampilan proses dikontrol atau dikoreksi (adjusted) oleh pre test. Hasil ayang telah dikoreksi (jika ada pengaruh pre tes sebagai kovariat terhadap tes akhir), selanjutnya dianalisis dalam analsiis kovarian untuk satu faktor tunggal.

1. Deskripsi Data

KELOMPOK

n

TES

AWAL

TES

AKHIR



X

σ

X

σ

Pemhaman

Konsep






Kontrol

100

24.440

3.948

26.560

4.314

Perlakuan

100

24.240

4.121

27.910

3.553

Keterampilan

Proses






Kontrol

100

32.410

11.527

29.560

10.958

Perlakuan

100

29.150

10.495

40.010

13.245

Keterangan:

N : Banyaknya Sampel

X : Rerata

S : Deviasi Standar

2. Pengujian Persyaratan Analisis Data

a. Uji Normalitas

1) Tes Awal Pemahaman Konsep

X2o = 6.281 < X2t (5:0.01) = 15.086 dapat dinyatakan distribusi data adalah

normal.

2) Tes Akhir Pemahaman Konsep

X2o = 12.624 < X2t (5:0.01) = 15.086 dapat dinyatakan distribusi data adalah

normal.

3) Tes Awal Keterampilan Proses

X2o = 8.321 < X2t (5:0.01) = 15.086 dapat dinyatakan distribusi data adalah

normal.

4) Tes Akhir Keterampilan Proses

X2o = 7.687 < X2t (5:0.01) = 15.086 dapat dinyatakan distribusi data adalah

normal.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas menggunakan teknik analisis Correlated Variance, adapun hasil perhitungan sebagai berikut:

1) Tes Awal Pemahaman Konsep

Fo = 1.089 <>t(99;99; 0.01) = 1.59. Ho diterima dan Ha ditolak, berarti varians

data berasal dari populasi yang homogen.

2) Tes Akhir Pemahaman Konsep

Fo = 1.474 <>t(99;99; 0.01) = 1.59. Ho diterima dan Ha ditolak, berarti varians

data berasal dari populasi yang homogen.

3) Tes Awal Keterampilan Proses

Fo = 1.206 <>t(99;99; 0.01) = 1.59. Ho diterima dan Ha ditolak, berarti varians

data berasal dari populasi yang homogen.

4) Tes Akhir Keterampilan Proses

Fo = 1.46 <>t(99;99; 0.01) = 1.59. Ho diterima dan Ha ditolak, berarti varians

data berasal dari populasi yang homogen.

c. Uji Linearitas dan Koefisien Arah egresi

1) Antara Tes Awal dan Tes Akhir Pemahaman Konsep

Fo = 1.064 <>t(19.179; 0.01) = 2.15. Ho diterima dan Ha ditolak, berarti hubungan antara skor tes awal dengan tes akhir diketahui linear, yang berarti analisis selanjutnya harus menggunakan analisis statitik linear. Selanjutnya hasil uji F diketahui bentuk persamaan Ý = 10.071 + 0.705X. Hasil analisis diketahui Fo = 201.353 > Ft(1:198; 0.01) = 6.81. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, dengan demikian diketahui arah regresi adalah signifikan dan arah regresi dapat digunakan sebagai peramalan.

2) Antara Tes Awal dan Tes Akhir Keterampilan Proses

Fo = 1.054 <>t(42.155; 0.01) = 1.72. Ho diterima dan Ha ditolak, berarti hubungan antara skor tes awal dengan tes akhir diketahui linear, yang berarti analisis selanjutnya harus menggunakan analisis statitik linear. Selanjutnya hasil uji F diketahui bentuk persamaan Ý = 16.427 + 0.596X. Hasil analisis diketahui Fo = 66.815 > Ft(1:198; 0.01) = 6.81. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, dengan demikian diketahui arah regresi adalah signifikan dan arah regresi dapat digunakan sebagai peramalan.

Hasil uji persyaratan analisis data menunjukkan bahwa seluruh syarat terpenuhi, dengan demikian analisis data dengan analisis kovarian dapat digunakan.

3. Uji Hipotesis

a. Uji Hipotesis 1a

Hasil analisis kovarian satu jalur diketahui sebagaimana tabel berikut:

Sumber Variasi

Ubahan

db

Jumlah Kuadrat

Rerata

JumlahKuadrat

F

p

Antar

Ŷ

1

111.227

111.227

14.742

0.000

Dalam

Ŷ

197

1482.265

7.524



Total

Ŷ

198

1593.492

--



Fo > Ft (1;197, 0.01) = 14.782, oleh karena itu Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian meskipun tes akhir telah dikoreksi oleh tes awal, ternyata secara signifikan terdapat perbedaan hasil belajar pemahaman konsep. Hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan pengaruh pembelajaran konvensional dibanding pembelajaran terpadu untuk hasil belajar pemahaman konsep teruji kebenarannya.

b. Uji Hipotesis 1.b.

Rerata tes akhir pemahaman konsep kelompok siswa yang belajar melalui pembelajaran terpadu dikoreksi (Ý) dibanding rerata tes akhir siswa yang belajar melalui pembelajaran konvensional dikoreksi (Ý) , diketahui

Ýterpadu = 27.99 > Ýkonvensional = 26.49. Oleh karena itu Ho ditolak dan Ha diterima, dengan demikian hipotesis yang menyatakan pembelajaran terpadu memberikan pemahaman konsep lebih baik dibanding pembelajaran konvensional teruji kebenarannya.

c. Uji Hipotesis 2.a.

Hasil analisis kovarian satu jalur diketahui sebagaimana tabel berikut:

Sumber Variasi

Ubahan

db

Jumlah Kuadrat

Rerata

JumlahKuadrat

F

p

Antar

Ŷ

1

7429.393

7429.393

78.064

0.000

Dalam

Ŷ

197

18748.549

95.170



Total

Ŷ

198

26177.942

--



Fo > Ft (1;197, 0.01) = 78.064, oleh karena itu Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian meskipun tes akhir telah dikoreksi oleh tes awal, ternyata secara signifikan terdapat perbedaan keterampilan proses. Hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan pengaruh pembelajaran konvensional dibanding pembelajaran terpadu untuk keterampilan proses teruji kebenarannya.

b. Uji Hipotesis 1.b.

Rerata tes akhir keterampilan proses kelompok siswa yang belajar melalui pembelajaran terpadu dikoreksi (Ý) dibanding rerata tes akhir siswa yang belajar melalui pembelajaran konvensional dikoreksi (Ý) , diketahui

Ýterpadu = 41.097 > Ýkonvensional = 28.473. Oleh karena itu Ho ditolak dan Ha diterima, dengan demikian hipotesis yang menyatakan pembelajaran terpadu memberikan keterampilan proses lebih baik dibanding pembelajaran konvensional teruji kebenarannya.

4. Temuan Penelitian

a. Terdapat perbedaan hasil belajar pemahaman konsep IPA antara siswa yang belajar melalui pembelajaran terpadu dibanding siswa yang belajar melalui pembelajaran konvensional.

b. Pembelajaran terpadu lebih baik memberikan hasil belajar pemahaman konsep dibanding pembelajaran konvensional.

c. Terdapat perbedaan keterampilan proses antara siswa yang belajar melalui pembelajaran terpadu dibanding keterampilan proses siswa yang belajar melalui pembelajaran konvensional.

d. Pembelajaran terpadu memberikan keterampilan proses lebih baik dibanding pembelajaran konvensional.

5. Pembahasan

Hasil uji hipotesis seluruh hipotesis teruji kebenarannya, yang dapat dibahas sebagai berikut:

a. Pemahaman konsep IPA

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan antara pemahaman konsep siswa yang belajar melalui pembelajaran terpadu dibanding siswa yang belajar melalui pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut menunjukkan, secara nyata pembelajaran terpadu memberikan pemahaman konsep yang lebih baik dibanding pembelajaran konvensional.

Piaget menyatakan pada anak kelas sekolah dasar kelas III berusia antara 8-9 tahun berada pada fase operasional konkrit. Mereka berpikir dan memecahkan masalah dengan menggunakan benda-benda konkrit melalui pembelajaran yang bersifat manipulatif terhadap benda-benda yang ada di sekitar murid. Mereka membutuhkan interaksi langsung dengan materi atau benda, kerja secara bersama dengan teman sebaya dan bimbingan dari guru. Mereka cenderung belajar secara informal. Charlesworth menyatakan konsep tumbuh dan berkembang semenjak bayi, ia ingin mengetahui lingkungan dan konsep diperoleh melalui keterlibatan dengan lingkungan dan konsep disusun secara mandiri.

Anak usia sekolah dasar tidak menunggu diberi oleh orang dewasa, tetapi mereka secara terus menerus mencoba mengartikan segala hal secara mandiri. Konsep IPA menyatu dengan kehidupan anak, sehingga untuk mempelajarinya dilakukan melalui interaksi dengan aspek kehidupan.

Pembelajaran terpadu secara nyata memberikan kesempatan anak belajar secara alami, informal, bermanipulasi, berinteraksi dengan materi, teman sebaya dan orang dewasa. Pembelajaran terpadu memberikan kesempatan kepada anak menentukan aktivitas belajarnya sesuai kapasitas masing-masing. Sekolah, orang tua, dan guru menyediakan berbagai kebutuhan belajar dan menciptakan kondisi belajar yang mendorong anak secara maksimal berinteraksi dengan materi/ lingkungan, teman sebaya, dan dalam arahan dan dorongan guru dan orang tua. Guru tidak mendominasi perlaku belajar anak, tetapi lebih berperan sebagai dinamisator.

Kegiatan belajar mel;alui ekslorasi tema atau kejadian otentik, mendorong siswa dapat melakukan curah pendapat, eksplorasi kajian, mengarahkan ke bahasan-bahasan esensial, menata urutkan kajian berdasar minat dan ketersediaan materi, serta keberartian materi yang dipelajari. Siswa dapat menentukan secara bebas urutan materi, sumber belajar, media belajar yang ditentukan melalui curah pendapat dan focus question.

Faktor pendrong lain adalah kegairahan belajar siswa yang tumbuh karena mereka merasa sebagai penentu belajar. Ia tidak didikte atau diatur secaa kaku. Mereka adalah pribadi-pribadi yang merdeka yang dapat mengatur dirinya dalam kerangka kesepakatan bersama dalam aturan yang disepakati tetapi tidak keluar dari bingkai kurikulum yang akan dicapai.

Pembelajaran terpadu memiliki karakteristik berbeda dibanding pembelajaran konvensional yang memberikan peran sentral kepada guru, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Gurulah penentu arah dan model pembelajaran. Pembelajaran kurang memperhatikan keberadaan anak sebagai subjek didik yang mampu mengatur dan menentukan cara kerjanya sendiri. Pembelajaran konvensional cenderung kaku, khususnya dalam piñata urutan kajian, penggunaan buku dan media, serta kegiatan belajar yang dipilih. Akibatnya anak menjadi bosan, tidak dihargai, merasa sebagai kelinci-kelinci yang menurut apa yang diperintahkan guru. Kebebasan terbelenggu dalam aturan formal yang rigit. Gurulah dewa yang mengerti segalanya. Anak kurang bergairah, karena sifat individualnya terampas. Akibatnya mereka menjadi robot-robot yang menuruti perintah atau tergantung program yang disetting guru. Dalam arti kata lain, pembelajaran konvensional kurang sesuai dengan karakterisik perkembangan dan belajar anak serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan senantiasa berubah. Perubahan yang progresif tidak dapat diikuti secara cepat, mengingat perencanaan pembelajaran yang kaku dan terpusat. Akibatnya, kebermaknaan belajar menjadi kurang dan akibatnya terjadi verbalisme dan memorisasi lebih mendominasi proses pembelajaran model ini.

b. Keterampilan Proses

Hasil penelitian menunjukkan, perbedaan hasil belajar utamanya perkembangan keterampilan proses siswa yang belajar melalui pembelajaran terpadu dibanding melalui pembelajaran konvensional. Pembelajaran terpadu memberikan keterampilan proses lebih tinggi dibanding pembelajaran konvensional.

Cain dan Evans menyatakan, bahwa pada anak sekolah dasar penekanan IPA adalahkomponen proses. Komponen ini merupakan pengertian-pengertian yang digunakan untuk memperoleh dan memproses materi/informasi atau fakta dan konsep. Sebagaimana konsep IPA merupakan suatu kerja, kegiatan, tindakan dan penyelidikan. Di samping itu anak operasional konkrtit akan lebih mudah belajar melalui aktivitas konkrit. Dengan demikian antara esensi IPA dan karakterisik anak menyatu dalam kehidupan nayata siswa.

Pembelajaran terpadu yang diselenggarakan dengan melibatkan siswa dalam perencanaan, pemilihan kajian, eksplorasi ide, pemilihan bahan ajar, sumber belajar, dan media pembelajaran yang diutamakan pada enthusiasisme belajar anak mendorong secara maksimal perkembangan berbagai keterampilan-keterampilan anak dalam mengamati, mengklasifikasi, mengukur, memprediksi, mengkomunikasikan, dan sebagainya yang merupakan komponen-komponen keterampilan proses.

Pembelajaran terpadu mendorong siswa bereksplorasi, mengumpulkan sumber-sumber belajar, mencari dan mendaftar, mengklasifikasi dan mengeliminasi, menyamakan dan membedakan yang dialkukan secara langsung dalam kehidupan anak sehari-hari secara alami mendi\orong berbagai komponen keterampilan proses.

Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang lebih menitik beratkan pada memorisasi mengakibatkan berbagai aktivitas yang emndorong perkembangan keterampilan proses terabaikan. Guru cenderung terbelenggu untuk segera menyelesaikan materi melalui mencatat, menghafal. Memperhatikan contoh atau demonstrasi guru, tetapi kurang emndorong aktivitas anak secara maksimal, sehingga mereka kurang terdorong untuk melakukan berbagai kegiatan secara nyata.

D. Kesimpulan, Implikasi, dan Saran

1. Kesimpulan

Penelitian memperoleh bukti empiris kelebihan pembelajaran terpadu dibanding pembelajaran konvensional dilakukan melalui disain “Randomized 2 Group Pre and Post Test”, hasil analisis diperoleh kesimpulan:

a. Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui pembelajaran terpadu dibanding siswa yang belajar melalui pembelajaran konvensional.

b. Pembelajaran terpadu memberikan pemahaman konsep lebih baik dibanding pembelajaran konvensional

c. Terdapat perbedaan keterampilan proses siswa yang belajar melalui pembelajaran terpadu dibanding melalui pembelajaran konvensional.

d. Pembelajaran terpadu memberikan keterampilan proses lebih baik dibanding pembelajaran konvensional.

2. Implikasi

Kelas III sekolah dasar berusia 8-9 tahun berada pada fase operasional konkrit membutuhkan belajar melalui interaksi dengan benda konkrit, belajar secara informal, alamiah, nyata, dan bermain. Di sisi lain, IPA merupakan hasil kegiatan berupa pengetahuan, gagasan, konsep yang terorganisisr tentang alam yang diperoleh melalui pengalaman melalui proses ilmiah, yaitu: penyelidikan, penyusunan, dan pengujian. Dengan demikian proses belajar yang mendorong anak beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungan, materi, teman, dan guru dan dilakukan secara informal, bermain yang menyenangkan akan mempermudah anak memperolah dan memproses kajian serta menginternalisasinya.

Pengkajian konsep-konsep IPA tidak dapat dilakukan secara terpisah antara konsep satu dengan konsep lain atau bahkan terpisah dari kehidupan anak secara nyata. Pembelajaran terpadu mendorong pembelajaran yang holistic alami dan otentik dalam kehidupan ana, sehingga konsep-konsep akan dipahami anak secara alami.

Dengan demikian pembelajaran terpadu merupakan suatu fenomena yang membawa perubahan cara belajar anak yang lebih sesuai dengan perkembangan dan karakteristik belar anak. Konsekuensinya model pembelajaran dapat diterapkan dan dikembangkan pada anak sekolah dasar.

3. Saran-saran

Pada dasarnya guru telah terbiasa dengan pola belajar mengajar yang telah mereka yakini bertahun-tahun. Untuk mengubahm, tentu tidak semudah yang dibayangkan. Di sisi lain, guru juga sangat patuh terhadap kebijakan pimpinan dan berbagai petunjuk dari pimpinan. Sehubungan dengan hal tersebut dapat disarankan:

a. Adanya peran aktif pengawas sekolah dasar dalam mengembangkan dan mendorong guru untuk mengubah model pembelajaran yang telah dikembangkan. Tetapi, sebelumnya para pengawas harus benar-benar menguasai konsep pembelajaran terpadu dan hakikat IPA secara benar.

b. Penyusunan buku panduan yang lebih mudah di cerna, mudah diterapkan guru dengan dengan contoh-contoh sederhana sesuai lingkungan sekolah (membumi).

c. Diberikannya kebebasan guru untuk berimprovisasi menyesuaikan kurikulum dengan lingkungan sekolah, mengingat kondisi geografis, heterogenitas penduduk di seluruh wilayah RI.

d. PGSD sebagai lembaga penyiapan guru SD hendaknya memberikan bekal konseptual yang mantap serta mendorongnya melalui praktik lapangan yang memadai.

e. Upaya mengurangi bias, misalnay: penataran dimana penatar bukan ahlinya tetapi karena jabatan perlu dikurangi semininimal mungkin. Penataran harus oleh ahlinya tanpa alas an apapun.

Daftar Pustaka

Anastasi, Anne and Urbina, Susana, Psychological Testing, New Jersey: Prentice-Hall International, Inc, 1997.

Anderson, W. Lorin and David R. Krathwoh, A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing-A Revesion of Bloom’s Taxonomy of Education Objectives, New York: Longman, 2001.

Angelo, A, Thomas,, dan Cross, Patricia K, Classroom Assessment Techniques-A Handbook for College Teachers, San Fransisco, California: Jossey Bass, Inc,, Publisher, 1993.

Ary, Donald; Lucy Cheser Jacobs; Asghar Razavieh, Introduction to Research in Education, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979.

Atkinson, L. Rita, Introduction to Psychology, Harcourt Brace Company.

Barbara, J. Taylor, Science Everywhere, Forth Worth: Harcourth Brace

Javanovich College Publisher.

Berk, Laura, Child Development, Boston: Allyn and Bacon, 1994.

Beyer, K, Barry, Teaching Thinking Skills-A Hand Book for

elementary School Teachers, New York: Allyn & Bacon, 1991.

Cain, E, Sandra,, dan Evans, Jack, M, Sciencing, Columbus: Merill

Publishing Company, 1993.

Carin, A, Arthur and Robert B, Sund, Teaching Science Through

Discovery, Columbus: Merrill Publishing Company, 1989.

Conny R, Semiawan, Pendekatan Keterampilan Proses, Jakarta:

Gramedia, 1990.

Cruickshank, R, Donald; Bainer L, Deborah; and Metcalf K, Kim, The Act

of Teaching, Boston: Mc Graw Hill College, 1999.

Esler, K, William and Mary K, Esler, Teaching Elementary Science, Oralando: Wadsworth Publishing Company, 1996.

Gagne, Robert M, The Condition of learning and theory of Instruction

New York, Slot, Rinehart and Winston, 1985.

Gagne, Robert M,, Briggs, Leslie J,, dan Wayz, Craller W, Principless of Instruction New York Tlercont Brace Joa novieh College Pub, 1992.

Good, L, Thomas and Brophy, E, Jere, Educational Psychology-A Realistic Approach, New York&London: Longman, 1990.

Harlen, Wynne, Teaching Learning Primary Science, London: Harper &

Row, Ltd, 1995.

-------, Guide to Assessment in Education Science, London: Macmillan

Education, 1983.

Hurlock, B, Elizabeth, Child Development, Rogakusha: Mc Graw Hill, 1981.

-------, Child Development, London: Mc Grawhill, 1978.

Kitano, K, Margie and Kirby F, Darrell, Gifted Education-A

Comprehensive View, Boston/Toronto: Little Brown and Company, 1986.

Kleinbaum, G. David and Lawrence L. Kupper, Applied Regression

Analysis and Other Multivariable Methods, North Scituate, Massachusetts, 1978.

Labinowicz, The Piaget Primer-Thinking Learning Teaching, California:

Addison Wesley Publishing Company, 1980.

Maxim, George W, The Very Young-Guiding Children from Infancy Through the Early Years, New York: Merril, an Imprit of Macmillan Publishing Company, 1989.

Menke, Kare Paciorek, Ed., Early Childhood Education, Dushkin Publishing Group/Brown&Benchmark Publisher, Guildford, CT., 1996.

Miller, Regina, The Developmentally Appropriate Inclusive Classroom- In Early Education, New York: Delmar Publisher, 1996.

Mindes, Gayle,, Ireton Harold,, dan Mardel-Czudnowski, Carol, Assessing Young Children, New York: Delmar Publisher, 1996.

Monks, FJ ;Knoers AMP; Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan-Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2002.

Morgan, T. Clifford, Introduction to Psychology, New York: McGrawhill Book Company.

Nitko, Anthony J, Educational Assessment of Students, Columbus, Ohio: Merril, an Imprit of Prentice hall engelwood Cliffs, 1996.

Pedhazur, J, Elazar and Fred N, Kerlinger, Multiple Regresion in Behavioral Research, Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1973.

Popham, W, James, Classroom Assessment-What Teachers Need to Know, Boston: Allyn and Bacon, 1995.

Santosa Murwani, Statistika Terapan-Teknik Analisis Data, Jakarta: Program Pasca Sarjana, 2000.

Seefeldt, Carol,, dan Barbour, Nita, Early Childhood Education- An Introduction, New York: Merril, An Imprit of Macmillan College Publishing Company, 1994.

Stiggins, Richard J, Student-Centered Classroom Assessment, New York: Merrill, an Imprit of Macmillan College Publishing Company, 1994.

Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi – Bagi Para Peneliti, Bandung Tarsito, 1991.

-------, Metode Statistika, Bandung: Tarsito, 1992.

Sutherland, Peter, Cognitive Development Today-Piaget and His Critics, London: Paul Chapman Publishing Ltd, 1992.

Sutrisno Hadi, Statistik II, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1981.

-------, Analisis Regresi, Yogyakarta: Andi Offset, 1990.

Wolfinger, M, Donald, Science and Mathematics in Early Childhood,

USA: Harper Collins College Publisher, 1994.



[1] Dr. Y. Padmono adalah Staf Pengajar PGSD FKIP UNS Kampus Kebumen