Jumat, 13 Agustus 2010

Penelitian dalam Profesionalisme

Banyak masyarakat professional dan pekerjaan yang melayani masyarakat tentu ingin senantiasa meningkatkan kualitas pekerjaannya. Peningkatan kualitas pekerjaan berjalan seiring dengan peningkatan pelayanan public dan peningkatan proses dan produk. Guru, pekerja sosial, kesehatan, bentuk-bentuk pekerjaan yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat memiliki ukuran keberhasilan kualitas layanan bukan sekedar kuantitas layanan.

Seorang guru bukan hanya rutinitas kehadirann di depan kelas tetapi bagaimana mendinamisasi, mendorong, merangsang, menantang para siswanya untuk maju secara dinamis mencapai goal-goal kecil mungkin hanya sebagai keberhasilan perantara, namun pada akhirnya pencapaian target pembelajaran. Demikian seorang pekerja sosial dip anti jompo, bukan kehadiran saja ukuran keberhasilan kerja mereka, tetapi bagaimana para lansia semakin bisa menerima layanan pekerja, dan penerimaan secara tulus dari para lansia kepada pekerja sosialah ukuran esensinya.

Ukuran kuantitas hanyalah alat ukur sekunder yang membantu memberikan sinyal-sinyal, namun itu bukanlah ukuran keberhasilan. Intisari peningkatan kualitas pekerjaan bukanlah regulasi kerja, rasionalitas, gaji, penerimaan pekerjaan kondisi pekerjaan. Pada sektor pekerjaan ini keberhasilan pekerjaan lebih terfokus seberapa besar harapan dan kepuasan terpenuhi.

Pengalaman-pengalaman dalam praktek professional mereka refleksikan menjadi tekanan/tuntutan kepada mereka yang harus mereka jawab dengan tindakan yang semakin baik di masa yang akan datang. Pengaruh kompleks terhadap kehidupan sosial sehari-hari memunculkan masalah-masalah keluarga, masyarkat, dan institusi. Praktisi professional memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dari dasar atau disebabkan oleh penyebab yang terpendam sekali pun.

Misal: Seorang guru yang mengajar secara rutin setiap hari dengan gaya mengajarnya lama kelamaan tidak akan match lagi dengan tuntutan anak, orang tua, dan masyarakat. Mereka menginginkan guru berbuat lebih karena memang tuntutan dunia luar juga meningkat. Guru harus berbuat dinami karena masyarakat dan dunia dinamis. Demikian juga seorang dokter satu obat dimungkinkan sudah tidak mempan lagi untuk latar yang berbeda. Dokter memerlukan berbagai hal lain agar pasien terpuaskan dan memperoleh hasil sesuai harapan.

Pada titik harapan dan kepuasan inilah pekerja-pekerja professional di sektor ini berusaha secara maksimal dan terus menerus berusaha keras untuk memperbaiki pelanannya. Peningkatan ini tentu tidak serta merta tercapai. Peningkatan layanan memerlukan upaya ilmiah dan harus didasarkan pada tingkat keahlian yang senantiasa ditingkatkan .

Uraian di atas adalah satu latar mengapa para pekerja professional melakukan penelitian. Mereka melakukan berbagai penelitian dengan ragam dan jenisnya. Pada akhir-akhir ini penelitian tindakan sedang menjadi pilihan utama karena secara praktis dapat dilakukan oleh praktisi. Guru melakukan penelitian tindakan kelas, dokter melakukan penelitian tindakan terapheutik, pekerja sosial melakukan penelitian tindakan layanan, dan sebagainya.

Pada satu sisi upaya ini perlu diberi ucapan selamat, karena mereka telah melakukan tugas professional mereka yaitu meningkatkan pelayanan, menggunakan dasar-dasar ilmiah dalam memperbaiki keadaan. Akan tetapi dalam setiap upaya tentu mengandung resiko dan konsekuensi yang harus diperhatikan. Misal: Penelitian tindakan kelas oleh guru tidak sekedar memperbaiki, tetapi yang diperbaiki adalah prosesnya. Siswa yang bosan dengan metode A, oleh guru diperbaiki dengan metode A+a, tentu pelaksanaan Aa inilah yang harus menjadi pusat perhatian bukan hasil Aa.

Uraian singkat ini mengamanatkan bahwa apa yang selama ini guru dan calon guru lakukan dalam penelitian tindakan terjadi distorsi dan bias dalam pelaksanaannya. Mereka berkonsentrasi pada ketuntasan belajar bukan pada pelaksanaan tindakan. Pelaksanaan metode Aa ini yang harus ditangani guru sampai guru benar melaksanaannya barulah melihat hasilnya!

Kamis, 12 Agustus 2010

Quality Assurance VS Quality Enhancement dan PTK

Dua minggi yang lalu saya selaku ketua komite SDN 1 Kebumen diundang untuk mengikuti “Rapat KOordinasi”, meskipun saya lebih suka member nama Deseminasi atau SOsialisasi, karena isinya sosialisasi berbagai pedoman dan bagaimana implementasinya di sekolah untuk meningkatkan dirinya dengan berbagai  stimulant, missal: SPM Standar Pelayanan Minimal, Evaluasi Diri sebagai strating point menuju sekolah berkualitas. Gedung megah yang tahun 1980an bernama BPG Srondol dan kini berubah nama yang lebih keren “LPMP” kependekan dari  Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. Bila kita menginap, maka salah satu gedung penginapan diberi nama Quality Assurance (Qias), tentu kalau tidak salah ingat.

Tulisan ini tidak akan membahas gedung penginapan yang diberi nama Qias sebagai akronim Quality Assurance atau penjaminan mutu. Tulisan ini lebih akan distimulasikan kepada rekan-rekan guru, bahwa penjaminan mutu yang berkarakter top down (dari atas ke bawah) yang tentunya dengan memberikan berbagai rambu-rambu, kisi-kisi yang harus dipenuhi oleh subjek yang berada di bawah pengaruh untuk mengikuti berbagai regulasi dan pedoman untuk memenuhi tuntutan. Itulah karakter penjaminan mutu (quality Assurance) yang sering diucapkan para pejabat pendidikan ketika memberikan  “Tauziah” ke daerah-daerah.

Kebijakan ini tidak salah, meskipun sebenarnya nafas yang dibawa adalah menuntun dan menuntut, memandu dan menuntun, memberi rangsangan dan tentu ada paksaan, dan sebagainya. Pada situasi pengelolaan pendidikan pada masyarakat yang belum berani mengambangkan diri secara bebas, maka kebijakan ini menjadi justifikasi yang ampuh karena pada akhirnya peningkatan kualitas diarahkan pada rambu-rambu peningkatan kualitas dimaksud.

QA (Quality Assurance) merupakan mekanisme peningkatan dibaca penjaminan kualitas sering diserahkan atau managemen pengelolaannya diserahkan ke Universitas atau sebuah lembaga yang berada di luar institusi yang harus ditingkatkan atau meningkatkan dirinya.  Penjaminan ini tentu terkait dengan control yang ditunjukkan dengan karakter inspeksi (tinjauan atau meninjau), digambarkan sebagai atasan memeriksa bawahannya atau kunjungan mereka yang memiliki otoritas lebih tinggi. Dampaknya inspector atau peninjau mencari sebuah standar untuk diterapkan, atau gagasan-gagasan yang diberikan untuk diterapkan dalam tataran praktis.

Lebih jauh sistem penjaminan mutu biasanya di sub divided ke dalam skema kewenangan (otoritas) dan peninjauan.  Kewenangan berupaya mencari bentuk standar untuk diterapkan, sementara peninjau berupaya secara interval waktu menjamin bahwa standar sesui diberikan kepada para guru, mata pelajaran, dan institusi.

QE (Quality Enhancment). Bila QA berupaya mencari untuk menjamin penerimaan level minimal (tentu ada batas terendah dan tertinggi), Quality Enhancment (QE) bertujuan untuk secara menyeluruh  meningkatkan dalam kualitas pembelajaran. Pada tataran praktis sering mendorong guru yang lebih baik ke kualitas tinggi dan praktek yang lebih inovatif. Bila QA peningkatan terfokus pada satu atau dua peningkatan, maka QE memberikan kebebasan subjek (guru) untuk mengembangkan peningkatan pembelajaran.  Mekanisme QA ditekankan dari atas, bersifat administrative, dari Universitas, dari lembaga penjamin, sementara QE  merupakan inisiatif guru, wali kelas, kepala sekolah, institusi, atau seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Qualitu Enhancment tidak dapat ditekan dari atas, regulasi. QE muncul karena sukarelawan-sukarelawan pendidikan (partisipan yang peduli pendidikan). Bila QA berkarakter topdown QE muncul dari bawah (Bottom up).

QA, QE, dan PTK

Jika pemerintah (Depdiknas) dalam hal ini sedang menggalakkan para guru, calon guru, untuk berlomba-lomba mengadakan PTK ini dengan lembaga sensor adalah LPMP artinya perbaikan pendidikan diharapkan muncul dari bawah sementara control dilakukan oleh lembaga otonom LPMP ini menjadi ironis.

Bagaimana LPMP mengontrol atau mengoreksi penelitian guru, sementara mereka bukanlah orang-orang yang bergerak ditataran praktis. Bila yang dikoreksi adalah prosedur atau metodologinya, maka ia sebenarnya juga hanya menyangkut urusan administrative bukan pada substansi penelitian. Jika LPMP bermainstream QA yang berkarakter TOP down, maka tingkah polah guru dalam melaksanakan peningkatan di lingkungannya sendiri yang tentu memiliki karakter berbeda-beda artinya bermainstream QE berkarakter Bottom Up.  Di satu sisi LPMP membangun sebuah regulasi, sebuah patokan, sebuah parameter, sementara QE dari guru berkarakter tumbuh dari bawah, maka akan terjadi benturan, artinya peningkatan bersifat administrative yang akan terakui, sementara peningkatan kualitas dari guru yang riil atau sebenranya terjadi menjadi terabaikan karena biasanya kurang dalam sisi administrasi.

Analsisi dan Solusi. Sebaik-baik urusan adalah ditengah-tengah. LPMP harus sedikit moderat, sementara guru harus membenahi kualitas penelitiannya secara administrative.  Jika LPMP mempertahankan ego sektoral atau bahkan membangun barikade aroganisme bahwa dirinyalah yang memegang (kewenangan) mengontrol mutu pendidikan, maka benturan-benturan akan terjadi dengan rekan guru dan yang lebih parah adalah sikap skeptic dari para guru karena laporan penelitian mereka senantiasa mentah ditengah jalan, sementara guru yang mengandalkan administrasi banyak tidak meningkatkan kualitas secara praktis, cukup beli tenang sajalah (terbukti juga kata-kata Iwan Fals). Fakta ini dapat dilihat berapa ribu guru yang masih Iva dan tidak mampu naik ke IV b? Bandingkan dengan dosen yang tentu wajar, karena mereka memang memiliki jalur kerja tiga kaki (Pengajaran, Penelitian,dan Pengabdian Masyarakat). Guru memiliki tugas tunggal yaitu sebagai pengajar dengan jumlah jam mengajar paling sedikit 24 jam + koreksi setengahnya 12 jam, jumlah total 36 jam satu minggu. Kapan meneliti bila laporan penelitian dituntut secara administrative? 

Laporan penelitian bermainstream administrative membutuhkan konsentrasi  waktu, sementara guru harus menangani anak yang ikut lomba, melakukan pengayaan dan remedial. Jadi kapan waktu guru meneliti?

Langkah yang bijak adalah buatkan table atau matrik perbaikan yang dilakukan guru. Misal dalam bulan ini guru memperbaiki apa (metode, media, atau strategi mengajar, atau perbaikan pendekatan), langkah-langkahnya apa,  siklus I bagaimana pelaksanaannya, siklus II apa yang diperbaiki dari langkah-langkah perbaikan, siklus III langkah-langkah apa yang diperbaiki, simpulan langkah yang terbaik seperti apa, apa dampak yang muncul, dan sebagainya-dan sebagainya!

See you

 

Penelitian dalam Profesionalisme

Banyak masyarakat professional dan pekerjaan yang melayani masyarakat tentu ingin senantiasa meningkatkan kualitas pekerjaannya. Peningkatan kualitas pekerjaan berjalan seiring dengan peningkatan pelayanan public dan peningkatan proses dan produk. Guru, pekerja sosial, kesehatan, bentuk-bentuk pekerjaan yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat memiliki ukuran keberhasilan kualitas layanan bukan sekedar kuantitas layanan.

Seorang guru bukan hanya rutinitas kehadirann di depan kelas tetapi bagaimana mendinamisasi, mendorong, merangsang, menantang para siswanya untuk maju secara dinamis mencapai goal-goal kecil mungkin hanya sebagai keberhasilan perantara, namun pada akhirnya pencapaian target pembelajaran. Demikian seorang pekerja sosial dip anti jompo, bukan kehadiran saja ukuran keberhasilan kerja mereka, tetapi bagaimana para lansia semakin bisa menerima layanan pekerja, dan penerimaan secara tulus dari para lansia kepada pekerja sosialah ukuran esensinya.

Ukuran kuantitas hanyalah alat ukur sekunder yang membantu memberikan sinyal-sinyal, namun itu bukanlah ukuran keberhasilan. Intisari peningkatan kualitas pekerjaan bukanlah regulasi kerja, rasionalitas, gaji, penerimaan pekerjaan kondisi pekerjaan. Pada sektor pekerjaan ini keberhasilan pekerjaan lebih terfokus seberapa besar harapan dan kepuasan terpenuhi.

Pengalaman-pengalaman dalam praktek professional mereka refleksikan menjadi tekanan/tuntutan kepada mereka yang harus mereka jawab dengan tindakan yang semakin baik di masa yang akan datang. Pengaruh kompleks terhadap kehidupan sosial sehari-hari memunculkan masalah-masalah keluarga, masyarkat, dan institusi. Praktisi professional memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dari dasar atau disebabkan oleh penyebab yang terpendam sekali pun.

Misal: Seorang guru yang mengajar secara rutin setiap hari dengan gaya mengajarnya lama kelamaan tidak akan match lagi dengan tuntutan anak, orang tua, dan masyarakat. Mereka menginginkan guru berbuat lebih karena memang tuntutan dunia luar juga meningkat. Guru harus berbuat dinami karena masyarakat dan dunia dinamis. Demikian juga seorang dokter satu obat dimungkinkan sudah tidak mempan lagi untuk latar yang berbeda. Dokter memerlukan berbagai hal lain agar pasien terpuaskan dan memperoleh hasil sesuai harapan.

Pada titik harapan dan kepuasan inilah pekerja-pekerja professional di sektor ini berusaha secara maksimal dan terus menerus berusaha keras untuk memperbaiki pelanannya. Peningkatan ini tentu tidak serta merta tercapai. Peningkatan layanan memerlukan upaya ilmiah dan harus didasarkan pada tingkat keahlian yang senantiasa ditingkatkan .

Uraian di atas adalah satu latar mengapa para pekerja professional melakukan penelitian. Mereka melakukan berbagai penelitian dengan ragam dan jenisnya. Pada akhir-akhir ini penelitian tindakan sedang menjadi pilihan utama karena secara praktis dapat dilakukan oleh praktisi. Guru melakukan penelitian tindakan kelas, dokter melakukan penelitian tindakan terapheutik, pekerja sosial melakukan penelitian tindakan layanan, dan sebagainya.

Pada satu sisi upaya ini perlu diberi ucapan selamat, karena mereka telah melakukan tugas professional mereka yaitu meningkatkan pelayanan, menggunakan dasar-dasar ilmiah dalam memperbaiki keadaan. Akan tetapi dalam setiap upaya tentu mengandung resiko dan konsekuensi yang harus diperhatikan. Misal: Penelitian tindakan kelas oleh guru tidak sekedar memperbaiki, tetapi yang diperbaiki adalah prosesnya. Siswa yang bosan dengan metode A, oleh guru diperbaiki dengan metode A+a, tentu pelaksanaan Aa inilah yang harus menjadi pusat perhatian bukan hasil Aa.

Uraian singkat ini mengamanatkan bahwa apa yang selama ini guru dan calon guru lakukan dalam penelitian tindakan terjadi distorsi dan bias dalam pelaksanaannya. Mereka berkonsentrasi pada ketuntasan belajar bukan pada pelaksanaan tindakan. Pelaksanaan metode Aa ini yang harus ditangani guru sampai guru benar melaksanaannya barulah melihat hasilnya!

POSISI PTK

Para peneliti awal, utama rekan guru-guru dan calon guru yang melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) sering terkacaukan dalam paradigma menelitinya. Mereka melakukan  PTK, namun seringkali mereka terpaku kepada kenaikan hasil belajar. Seringkali secara vulga mereka melakukan berbagai usaha agar penelitiannya berhasil di mata dosen (dosen pembimbing), mereka memaksa diri menunjukkan kenaikan hasil belajar siswa dari siklus I ke seklus II dan ke siklus III. Ironisnya setiap siklus hanya mereka lakukan 1-2 pertemuan, maka praktis untuk tiga siklus penelitian hanya dilakukan selama 3-6 pertemuan. Bila penelitian dilakukan pada mata pelajaran Matematika atau Bahasa Indonesia, maka 1-2 minggu penelitian telah selesai, hebatnya nilai siswa meningkat, missal: start rerata 40 pada akhir siklus III ada yang mengalami kenaikan secara atraktif rerata 80 bahkan sampai 90, bahkan 100.

Jika dalam rentang waktu 1-2 minggu guru berhasil menaikkan hasil belajar sebesar itu, maka negeri ini hanya membutuhkan waktu satu tahun semua siswanya akan mampu pergi ke planet Mars. Ini berlebihan, namun ini terjadi karena ketidak tahuan mereka atau meneliti karena terpaksa karena tuntutan penyelesaian studi dan para pembimbing yang ironisnya juga menyetujui. Mereka tidak menyadari bahwa ia sebenarnya sedang meneliti dirinya sendiri bukan meneliti kenaikan hasil belajar siswa. Penelitian terhadap diri sendiri ini karena penelitian ini sebenarnya konsekuensi dari tugas profesionalnya  (http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/10/penelitian-dalam-profesionalisme/). 

PTK merupakan penelitian yang meneliti diri sendiri, meneliti kinerjanya agar kinerjanya menjadi lebih berterima dengan siswa, lebih mendorong kemajuan belajar siswa. Gambar di atas menjelaskan posisi PTK sebagai penelitian kritik refleksit, kritik dialektik terhadap kinerjanya dan melalui bantuan para observer (Kepala sekolah, teman, atau siswa) guru berusaha bercermin apakah kinerjanya  telah baik atau belum selanjutnya guru berdasar kritik tersebut berupaya memperbaiki kinerjanya. Sekali lagi bukan terfokus pada kenaikan hasil belajar, karena kanaikan hasil belajar adalah dampak dari tindakan  yang dilakukan guru dalam penelitian riil ini.

Penelitian Positivist.  Penelitian ini menggunakan metode ilmiah dengan teknik survey atau eksperimen. Ia mencari penjelasan sebab akibat dengan hokum-hukum universal. Posisi peneliti adalah sebagai observer yang netral, sehingga tingkat penerapannya melalui random sampling sebagai wakil yang representative. Pengaruh pada subjek melalui variabel yang dimanipulasi dalam eksperimen atau  berpegang pada teguh pada kekonstanan secara statistic, selanjutnya untuk verifikasinya melalui uji hipotesis.

Penelitian Interpretive. Penelitian ini secara awam sering dinamai penelitian kualitatif yang menggunakan metode Hermenuitik  penyelidikan soail dengan teknik pengamatan terhadap situasi sosial. Mereka sedang mencari pemahaman pengertian, sehingga posisi peneliti menenggelamkan diri dalam situasi sosial tersebut. Tingkat penerapan penelitian ini terkadang sangat sulit untuk digeneralisasikan. Pengaruh subjek penelitian dilakukan penyelidikan  pada latar alamiah. Untuk memverifikasi atau menginterpretasi hasil penelitian  melalui “Plausible Explanation”.

Penelitian Critical. Penelitian ini menggukanan penelitian tindakan (kalau latarnya kelas, maka menjadi penelitian tindakan kelas, kalau institusi menjadi penelitian tindakan institusi). Metode penelitian tindakan menggunakan teknik “Critical Discourse”. Penelitian ini mencari perubahan atau emansipasi/peningkatan. Posisi penelitia adalah partisipan atau agen pembaharu (bisa yang akan mengadakan perubahan itu sendiri). Tingkat penerapannya dapat dilihat dari pengaruh perubahan yang dapat konfirmasikan terhadap partisipan itu sendiri. Pengarus subjek penelitian adalah sesuai dengan tujuan penelitian adalah mengadakan perubahan dan peningkatan. Sedang untuk memverifikasi dilakukan melalui consensus antar partisipan.

Tahap verifikasi inilah kesulitan pokok, terutama kita sebagai bangsa Indonesia. Apakah kita sudah terbiasa menyampaikan kekurangan secara terbuka, menunjukkan kebaikan secara bebas, atau justru kita sering berbasa-basi tentang komentar kita, akibatnya kita tidak pernah mendapatkan verifikasi yang sebenar-benarnya.

Karakteristik paradigm penelitian ini sebenarnya harus secara disiplin kita taati karena kita telah memilih paradigm penelitian yang kita lakukan. Jika kita melakukan penelitian tindakan (kelas untuk para guru dan calon guru).  Mereka harus menyadari penelitian tindakan ini sebuah metode yang menggunakan teknik kritik terhadap discourse, terhadap latar yang terjadi, terhadap latar pembelajaran yang terjadi, maka kita harus tegas tehadap setting apa yang ingin kita tingkatkan, maka kita harus focus terhadap discource yang kita sedang cermati. Kita jangan lari ke hasil tindakan bukan pada tindakan (jika kita melihat hasil belajarnya sementara tindakan hanya sebagai  tindakan tanpa ada perubahan, maka kita lari dari focus (discource) yaitu  peningkatan tindakan , sementara hasil belajar itu dampak dari tindakan).

Penelitian tindakan adalah upaya mencari perubahan  dan meningkatkan. Peneliti bukanlah orang luar, peneliti adalah partisipan atau agen pembaharu, artinya kita tidak dapat menyerahkan pelaksanaan tindakan kepada orang lain (karena kitalah yang sedang me dan di tingkatkan). Apakah hasil dapat diterapkan di tempat lain, jawabannya tidak. Penelitian yang mencari perubahan dan peningkatan layanan tidak dapat diterapkan di tempat lain. Penelitian ini untuk mencari perubahan dan peningkatan situasi (latar peneltian jadi tidak bisa dipindah).  Apakah telah terjadi perubahan dan peningkatan? Maka verifikasi akan menentukan, karena kesepakatan/consensus seluruh pihak yang terlibat yang akan memutuskan tingkat keberhasilan. Jika guru dan siswa tanpa pihak lain, maka guru dan siswalah yang memeriksa tingkat keberhasilan itu. Jika ada kepala sekolah, maka consensus ditambah kepala sekolah.

Artinya semua dikembalikan kepada guru tentang ukuran keberhasilannya.  Situasi inilah menuntut pemahaman yang benar tentang PTK. Jika guru merasa, bila kenaikan hasil belajar digunakan sebagai indicator, maka inilah boomerang sedang berjalan mengancam esensi penelitian itu. Pemahaman dan kesadaran tentang metode penelitian dengan teknik kritkik “Discourse” ini harus termaknai dengan penuh kesadaran.

Sebagai catatan agar guru/peneliti tidak focus pada hasil belajar dan kembali focus kepada tindakan atau solusi, apakah solusi berhasil bukan nilai ukurannya. NIlai yang diperoleh siswa ditentukan oleh banyak ubahan (penyebab), antara lain: siswa belajar, guru mengajar, orang tua membimbng belajar siswa di rumah, jadi PTK bukan satu-satunya penyebab nilai siswa naik!