Jumat, 19 Maret 2010

KITA GAGAL MENDIDIK

Mari kita ingat dan tengok anak taman kanak-kanak dan anak-anak SD kelas rendah! Apa yang terjadi, ketika kita bertanya siapa yang berani maju ke depan? Hampir serempak mereka menjawab saya sambil mengacungkan jari mereka! Kemudian ketika guru bertanya apakah ada anak yang ingain bertanya, maka banyak anak yang menunjukkan jari dan bertanya macam-macam; ada yang bertanya di mana rumah guru, bolehkah mereka melakukan A, B, atau C. Mereka belajar dengan ceria, bahagia, aktif bergerak, belajar dengan melibatkan seluruh emosinya, mereka berpikir dengan seluruh aspek pribadinya. Mereka begitu terbuka tentang dirinya, mereka jujur tentang dirinya, mereka dengan gembira bercerita apa cita-citanya. Singkat cerita, begitu bahagianya kehidupan anak, begitu jujurnya anak-anak, dan begitu totalitas mereka menjalani kehidupan di semua asepeknya.

Sebaliknya! Tengok anak-anak SMP, SMA, dan mahasiswa, apa yang terjadi ketika guru memberinya kesempatan untuk bertanya! Berapa siswa yang bertanya, berapa mahasiswa memanfaatkan kesempatan untuk bertanya, berapa dari mereka yang belajar dengan bahagia, berapa dari mereka yang belajar penuh gairah, dan berapa dari mereka yang secara totalitas belajar dengan seluruh kehidupannya! Kita prihatin, jika hal ini bisa kita tabulasikan dan kita gambarkan secara prosentatif! Kita terpaksa menundukkan wajah kita dan kita prihatin! Tapi apakah kita memprihatinkan hal tersebut?

Bila kita lihat kesenjangan tersebut, muncul pertanyaan! Apa yang terjadi selama mereka belajar dari SMP, SMA, dan Mahasiswa! Apakah kita telah berhasil menurunkan tangan mereka untuk tidak menunjukkan jari untuk bertanya? Apakah kita berhasil membuat mereka menjadi tidak bergairah dalam belajar? Apakah kita berhasil menggerus berbagai aspek individu hingga mereka menjadi belajar hanya dengan sebagian hatinya, sebagian semangatnya, sebagian kegembiraan, dan sepenggal totalitas kepribadiannya!

Sedikit analisis!

Ketika anak-anak muda belajar, mereka tidak takut salah, mereka menikmati belajar melalui berbagai kegiatan belajar yang mendorong mereka secara total belajar! Namun mulai memasuki sekolah dasar, mereka mulai belajar formal, mulai ada salah benar, boleh tidak boleh yang diformalkan, mulai ada sanksi dan hukuman. Kondisi formal ini menjadikan anak mulai menyesuaikan dengan tuntutan formalisasi dan berbagai aturan-aturan yang ketat. Formalisasi dan aturan harus diakui berhasil megurangi kegembiraan dalam belajar, di satu sisi. Guru dan kita mulai mengurangi penyampaian penghargaan, penguatan, dan penciptaan suasan yang menggembirakan, akibatnya belajar berubah dari kegiatan yang menyenangkan menjadi suatu beban yang harus mereka kerjakan, mereka kehilangan kesadaran belajar adalah tanggung jawab diri untuk senantiasa mengembangkan diri. Di sisi lain, orientasi penguasaan materi menyebabkan factor-faktor pengiring yang mendorong belajar dengan wajar dan kegembiraan tereduksi dan menjelma menjadi robotisasi. Bila di jepang memanusiakan robot yang berupaya memberi peran mengganti tugas manusia, sedang di kita terjadi sebaliknya yaitu merobotkan manusia.

Robotisasi ini dapat kita lihat! (1) Padatnya kurikulum anak SD, SMP, SMA, sehingga untuk bermainpun mereka tidak memiliki waktu, (2) orientasi hasil (nilai) mendorong kita orang tua mendorong anak-anak untuk mengikuti berbagai les privat, pemberian pembelajaran tambahan yang bernuansa drill, (3) pihak-pihak non pemerintah yang bergerak dalam bisnis pendidikanpun menambah persoalan dengan mengadakan terobosan-terobosan yang cenderung merusak, missal: penataran jaritmatika warisan tahun 1950an bahkan mungkin sebelumnya digunakan dalam pembelajaran (meskipun sebanarnya baik untuk pengkonsepan fakta atau setelah anak mengerti jalannya/caranya), (4) penataran-penaran yang lebih menekankan kepada bagaimana tanpa pernah meninjau tentang kemengapaannya. Bahkan penataran di pendidikan tinggipun juga berlangsung copi paste (penatar tingkat bawah meniru penatar tingkat atas tanpa aspek variasi dan pengembangan atau penyesuaian), akibatnya berbagai konsep terkikis seiring perjalanan waktu, (5) USBN dan UN yang termaknai menjadi satu-satunya alat ukur kelulusan, sehingga guru terkonsentrasi menjadikan anak menjadi robot yang memiliki hard disk dengan kapasitas besar sehingga bisa menampung berbagai informasi yang melimpah (lihat beberapa sekolah yang tidak memiliki track record berprestasi dalam proses, tiba-tiba mencuat berprestasi dalam USBN dan UN, meskipun ini bersifat casuistis), (6) penggunaan hasil USBN dan UN sebagai parameter keberhasilan sekolah. Hal tersebut sering disampaikan dalam forum-forum resmi, akibatnya kepala sekolah akan menyemrot guru-guru untuk mendorong siswanya memperoleh hasil USBN dan UN maksimum, selanjutnya guru mengkondisikan dan membangun siswanya untuk memasukkan berbagai soft ware dan program ke otak anak.

Sedikit saran!

Yuk! Kita mulai dari diri sendiri untuk membangun kelas-kelas kita lebih humanis, lebih hidup, lebih memberi peluang kepada anak-anak untuk berkembang sesuai kapasitas, bakat, dan minat mereka! Biarlah mereka menjadi diri mereka sendiri. Dan marilah membebaskan anak dalam pengembangannya, sebab dengan pemberian kebebasan pada dasarnya memberi mereka emosi dan motivasi untuk mereka tumbuh.

Yuk! Kita belajar mencari, memvariasi, mencipta berbagai pembelajaran yang memanusiakan mereka bukan merobotkan mereka. Kita juga bukan robot, jadi kenapa kita copi paste hasil penataran, buku petunjuk, himbauan atau perintah yang tidak jelas dasarnya. Mari kita kembangkan kelas kita dengan pembelajaran yang menyenangkan hingga anak bahagia dalam belajar, bergairah, tersenyum dalam kerja belajarnya! Bangkitkan emosi keterlibatan menyenangkan dalam belajar, bawa anak dalam sosialisasi sehingga mereka memiliki keterampilan hidup bersama dan berbagai keterampilan hidup tanpa melupakan substansi belajar!

Bebaskan mereka tapi jangan biarkan mereka hancur! Ayo ajak mereka bertransaksi dalam belajar, biarlah anak berjanji dalam hatinya untuk belajar, biarlah ia berkomitmen dengan cita-citanya! Bila anak tahu yang ia tuju, kita bantu menyiapkan kendaraannya, memperlanjar jalannya, dan menunjukkan jalan yang lebih mudah dan efisien!

Kebebasan dambaan setiap insane, ia adalah hak, dan ia natural! Lepaskan diri kita dari belenggu stigma tukang-tukang! Kita guru saat ini hanya menjadi tukang ajar, karena buku ajar sudah disusun oleh penerbit, apakah kita tidak mampu mengorganisasi materi untuk menjadi buku (toh kurikulum sudah ada tinggal disesuaikan dengan visi-misi sekolah). Kita guru itu mampu, hanya belum memiliki keberanian! Kita hanya menjadi tukang perintah, tukang yang mengandalkan kompeten (kewenangan) dan melupakan kompeten (kemampuan), kadang kita ini lupa sebagai pendidik, yang kita ingat hanya mengajar agar anak dapat nilai bagus, kadang lupa jauh lebih penting membangun anak kita menjadi anak baik (Mendidik anak menjadi baik itu wajib dan pintar itu sunah!!!)

Ayo perbaiki kelas kita, lakukan perbaikan dengan melihat kelemahan-kelamahan kita. Ayo bercermin (berefleksi) diri, apa kekurangan kita dan coba kita perbaiki!

Ayo kita belum terlambat!

Apakah kita bangga dikatakan berhasil membuat anak kita menjadi tidak berani bertanya! Tidak berani usul!! Tidak berani menjawab……. Ayoooo kita dorong anak kita memnadi anak yang baik…. Pintar…. Dan ceria…. Termasuk mahasiswa lho! Jangan biarkan mereka salah jalan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar