Selasa, 12 Januari 2010

Mengubah Paradigma

MENGUBAH PARADIGMA

Y. Padmono


ABSTRACT

This time, the teacher watching television everyday and they know that much negative example for student. But, they do not know why there did? The teacher must know, that is they are responnsibility.

Pendahuluan

Tugas kita adalah merealisasi cita-cita kita, akan tetapi sering cita kita tak sejalan dengan cita orang lain, kelompok lain, atau bahkan cita-cita negara. Apa yang harus kita lakukan. Merefleksi diri, melihat apakah cita-cita kita berada pada aras yang benar, apakah cita kita tidak bertentangan dan merugikan pihak lain. Ini merupakan titik preview dan reviuw diri sebelum melangkah lebih jauh. Bila cita dan gagasan kita salah, maka kita selayaknya memperbaiki. Akan tetapi jika gagasan dan cita-cita kita benar, kita harus perjuangkan dengan meminimalisir benturan, bahkan mungkin pendapat kita akan menjadi acuan pada pencitaan secara lebih luas.

Tidak kita pungkiri, seluruh masyarakat Kebumen berkeinginan pendidikan di daerah kita ini maju, akan tetapi ketika kita bertanya kepada masing-masing individu, kelompok, atau instansi, kita akan mendapatkan berbagai ragam jawaban. Ragam jawaban tersebut mungkin hanya berbeda, akan tetapi tidak jarang jawaban dan pandangan tersebut justru menjadi pemantik pertikaian pendapat dan dapat berujung pada pertikaian yang lebih besar. Bagaimana sikap kita? Bila kita berhenti pada aras yang salah dan mempertahankan, tanpa adanya upaya koreksi kita akan berbenturan. Sebaliknya, bila gagasan kita benar tetapi membentur gagasan atau regulasi, maka kita harus mencari alternatif perwujudan yang meminimalisis benturan.

Bila masing-masing individu, kelompok, atau institusi meyakini pendapatnyalah yang palig benar dalam memajukan pendidikan di Kebumen, maka justru akan menimbulkan benturan ide. Terkait hal tersebut, diperlukan kesepakatan ide dan membakukannya (meskipun bersifat relatif) dalam sebuah sistem yang disepakati. Akan tetapi, penyamaan pandangan kadang justru menjadi pameran gagasan yang berujung adu ide dan pada akhirnya justru tidak berujung dan kembali ke regulasi lama. Begitu pula ketakutan akan perubahan yang berdampak pada ekses-ekses, pada akhirnya disepakati kembali ke status quo. Mungkinkah kita akan menyatakan “Qua Vadis Pendidikan Kebumen?”

Aristoteles (dalam Sunarwan, 2008) menyatakan keseluruhan itu lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya. Hal ini dipsikologi kita kenal teori gestalt dan disosiologi kita kenal dengan faham sosiologisme. Mengerti bagian-bagian tidaklah cukup, tetapi adalah mengerti hubungan antar bagian, kesalinghubungan antar bagian, sehingga membentuk struktur yang bulat (Ludwig Von Bertalanfy dalam Sunarwan, 2008).

Membangun pendidikan kabupaten Kebumen, kita tidak dapat memperbaiki dari satu ide perorangan, kelompok, ataupun mengandalkan peraturan (yang juga digagas sekelompok orang). Kita memerlukan sebuah regulasi yang merupakan kesepakatan bersama secara makro dan mendorong pengembangan kesepakatan mikro, sub sektor, dan bagian yang menjadi tanggung jawab secara hierarkial. Kesepakatan tersebut menjadi satu jalinan utuh yang saling mendukung.

Individu dewasa adalah mereka yang mampu mendelay kepuasan pribadi untuk memperoleh kepuasan yang lebih besar (Delay gratification). Kita tidak mementingkan tercapainya kemajuan sektoral, tetapi secara bersama-sama antar sektor bekerja sebagai sebuah sistem, sehingga keberhasilan bagian merupakan determinan terhadap keberhasilan komprehensif. Mungkinkah ini terjadi? Tentu, manakala kita mampu menempatkan diri sebagai satu unsur kecil, dan meyakini unsur kecil yang berkohesi dengan unsur kecil lain (tentu dalam semufakatan sistem) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah keberhasilan sistem.

Analisis Penyebab

Perkembangan jaman yang begitu cepat, ternyata kurang diikuti perubahan paradigma guru. Hal itu terlihat, masih banyak guru yang hanya mengajar melalui ekspositori, memberi perintah tanpa contoh, memberi tugas tanpa koreksi konstruktif. Seharusnya mereka menyadari, bahwasanya ilmu dan pengetahuan sudah tidak masanya lagi untuk terlalu intens dijelaskan. Abad informasi ini, memberikan kemudahan bagi semua pihak untuk mengases berbagai informasi hampir tiada batas. Bahkan, sering guru justru tertinggal dibanding siswa yang rajin mengases berbagai informasi melalui media masa dan media elektronika.

Apabila guru tidak mengubah paradigma dengan mengubah berbagai pendekatan mengajar dan memberi pengalaman belajar pada siswa, maka guru justru menjadi sumber munculnya masalah. Namun, tentunya faktor ini bukanlah faktir tunggal, sebab masih banyak faktor penyerta atau secara parsial muncul, atau bahkan berbagai faktor terjadi secara simultan.

Perubahan kebijakan pemerintah, respon pemerintah daerah yang lamban dan tidak seiring dengan kebijakan pusat, managemen sekolah yang kurang responsif, merupakan faktor-faktor penyebab lain munculnya handicap belajar siswa. Hal uang menonjol saat ini adalah regulasi pemerintah yang sering dipersoalkan berbagai pihak tanpa adanya solusi yang signifikan.

Regulasi yang di persoalkan

Gejala alamiah pergaulan manusia belum berubah, yaitu masih suka membicarakan hal negatif dibanding hal positif. Hal ini terjadi, karena mereka memiliki kepedulian dan mereka pada dasarnya juga memiliki gagasan pemecahan masalah, hanya mereka tidak menemukan salurannya. Fenomena yang sampai saat ini masih sering muncul, antara lain: (1) Dampak otonomi terhadap pimpinan Diknas/Dikpora tidak berasal dari dunia pendidikan, (2) sistem perekrutan dan penempatan kepala sekolah, (3) parameter penerimaan calon guru dan berbagai kebijakan akomodatif tetapi justru destruktif, dalam antisipasi guru wiyata bakti, (4) penataan anggaran yang tidak aspiratif menyebabkan pemicu pertumbuhan pendidikan masih rendah, (5) kebijakan seragam, misalnya: BOS untuk SD kota dan desa, SD aktif dan pasif, (6) sikap pemimpin belum mampu menjadi model contoh.

(1) Otonomi berdampak positif-negatif. Otonomi dapat mendorong kemajuan di masing-masing daerah sangat tergantung pucuk pimpinan. Sebaliknya, otonomi berdampak buruk, bila pemimpin yang kurang aspiratif dalam melakukan pergeseran pejabat. Mereka mendasarkan bahwa penempatan pejabat tidak harus memiliki penguasaan lapangan, sebab mereka adalah manager, sedang teknis pelaksanaan ada pada tenaga ahli.

(2) Sistem perekrutan dan penempatan kepala sekolah. Kepala sekolah adalah sosok contoh teladan bagi seluruh civitas di sekolah yang dia pimpin, seharusnya kepala sekolah adalah mereka yang telah memiliki trac record positif, kemauan bekerja, dan hasil tes psikologis. Fakta menunjukkan, perekrutan kepala sekolah hanya mendasarkan hasil tes psikologi yang bersifat teoretis. Perekrutan kepala sekolah yang hanya mendasarkan siapa yang mendaftar, hasil tes, berarti menafikkan performan guru sepanjang mereka bekerja. Selanjutnya, penempatan acak yang tidak aspiratif mengakibatkan guru-guru potensial justru enggan berkompetisi.

(3) Parameter penerimaan calon guru. Guru merupakan figur teladan bagi muridnya. Ia dituntut memiliki kualifikasi akademis dan praktis. Fakta, banyak guru wiyata bakti yang sebenarnya tidak memiliki kualifikasi akademik. Mereka berwiyata berdasar kebutuhan pragmatis, kemudian mengikuti kuliah diperguruan yang tidak berkualifikasi atau diperguruan tinggi melalui model kerjasama. Akibatnya, kebijakan ini menjadi bumereng penurunan kualitas tenaga pendidik.

(4) Regulasi pemerintah daerah yang tidak memberikan keleluasaan anggaran bagi Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan tingkat kecamatan, mengakibatkan satuan kerja ini tidak mampu mengelola regulasi kompetisi pemacu prestasi di tingkat kecamatan. Selanjutnya, dibuatlah kebijakan untuk iuran dari sekolah-sekolah. Ironisnya pertanggungjawan tidak diadministrasikan secara faktual, tetapi sekolah-sekolah harus mempertanggungjawabkan dengan tatacara kamuflase. Kebijakan demikian berdampak negatif terhadap kondusifitas sekolah.

(5) Kebijakan BOS sangat menyejukkan bagi pendidikan dasar, utamanya sekolah-sekolah desa. Akan tetapi, bagi sekolah kota dan maju akan mengalami penurunan pelayanan, manakala harus membebaskan sekolah dari sumbangan orang tua, sementara pemerintah daerah tidak antisipatif terhadap regulasi penyerta penghapusan biaya operasional sekolah.

(6) Era saat ini sering didengungkan sebagai era reformasi, akan tetapi fakta menunjukkan banyak pejabat yang masih menggunakan cara-cara pemaksaan terselubung. Misalnya: Peringatan hari besar pada hari kerja dan di presensi dengan dalih kedisiplinan, padahal pada waktu yang sama mengajari tidak berdisiplinmelaksanakan kegiatan sekolah yang sebenarnya tidak boleh diganggu dengan kegiatan non akademik.

Analisis Trend dan isue

Trend pergantian nama-nama model, metode, strategi, dan pendekatan secara vulgar mempertunjukkan, bahwa sebenarnya tidak adapembaharuan. Pembaharuan bersifat kamuflase dan pragmatis. Peningkatan kualitas hanya dijadikan sebagai topeng pengadaan proyek-proyek baru dengan nama baru. Fakta, pelatihan model, metode, dan pendekatan baru banyak dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki keahlian tetapi hanya mendasarkan struktur manajemen.

Trend sekolah bertaraf nasional dan sekolah bertaraf internasional sering bersifat artifisial, cenderung berkamuflase “broad minded”, mengabaikan keunggulan daerah dan budaya terabaikan, topeng mencari dana dari berbagai sektor (pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan dana masyarakat), dan justru menjadi pemicu pemborosan sistemik.

Analisis Standardisasi Pendidikan

Pelaksanaan ujian nasional berdampak positif dalam memacu semangat berkompetisi di satu sisi, tetapi di sisi lain banyak siswa menjadi korban yang tidak adil, misalkan: siswa belajar selama tiga tahun kelulusannya hanya ditentukan ujian nasional dan menafikkan kinerja dan nilai rapor selama 6 (enam) semester.

Dalam konteks, ujian nasional tentu perlu penyempurnaan sehingga setiap anak memperoleh perlakuan komprehensif. Di sisi lain penerapan kelulusan berdasar ujian nasional telah memicu perilaku-perilaku pragmatis yang justru mempertontonkan contoh negatif kepada murid (meskipun bersifat kasus). Terdapat sekolah yang secara sadar berbuat dan memberi contoh kecurangan secara sistemik kepada para muridnya, padahal kelulusan hanyalah sebuah dampak dari proses belajar. Piaget (dalam Fisher, 1993) menyatakan tujuan utama pendidikan adalah membentuk individu yang kritis dan kreatif.

Analisis Alternatif

Penyakit kronis tentu memerlukan penanganan dan pengobatan komprehensif. Demikian pula kompleksitas permasalahan pendidikan, memerlukan alternatif solusi menyeluruh. Alternatif solusi utama adalah kemampuan dan kemauan mengubah paradigma seluruh pemangku pendidikan, antara lain: guru, kepala sekolah, orang tua, pemerintah daerah, komite skolah, dan masyarakat umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar