Senin, 15 Februari 2010

BERANILAH GURU!

Sungguh saya salah satu orang yang mendambakan kebangkitan guru, khususnya kebangkitan guru untuk berani! Berani menyuarakan kepentingannya, baik: akademik professional, pengembangan dan pembinaan pribadi, peningkatan dan peran sosial kemasyarakatan, dan berbagai kebutuhan lain. Intinya, kompetensi guru meningkat secara benar, tidak sekedar mengajar!

Sampai hari ini, guru masih sering menjadi objek bagi sebuah kebijakan! Anehnya, kebijakan tersebut masih sangat artificial simbolis. Contoh: pengenalan berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran, metode mengajar, penilaian, dan sebagainya.

Pada tahun 1980an, hampir seluruh guru disibukkan dengan Cara Belajar Siswa Aktif. Penataran-penataran mendominasi kegiatan guru (utamanya guru sekolah dasar).  Sayang  sekali penataran senantiasa dilakukan secara berjenjang. Beberapa pengawas/penilik atau pejabat-pejabat departemen pendidikan (waktu itu) ditatar tingkat nasional, selanjutnye penataran tingkat propinsi, kabupaten, SD initi, terakhir SD imbas….. Ilmu, makin lama-makin menipis, karena mereka bukanlah orang-orang yang secara kualitatif menguasai konsep-konsep, akibatnya terjadilah distorsi yang amat parah. CBSA harus berkelompok, CBSA harus membuat papan pajangan, akhirnya yang beruntung adalah pengusaha yang membuat dan menjual papan pajangan dan lks-lks melalui rekomendasi pejabat diknas atau melalui kepala sekolah (bisa dipotong, bisa pura-pura membeli, tetapi dana dari pusat telah diotong, tapi itu dulu lho).

Fakta lapangan menunjukkan,  peningkatan kualitas tidak linear dengan besaran biaya yang dianggarkan (sayangnya di ujung tombang, guru hanya bisa menjadi objek penataran berlabel peningkatan mutu). Penataran di waktu itu mungkin masih memiliki dampak positif manakala pengawas atau pejabat  yang menatar memiliki kiualifikasi bagus ditambah gesah pejabat pada tahun 1980an masih cukup bagus. Hanya sayangnya, mereka para penatar  tidak menguasai konsep teoritis yang mendasar  konsep pembelajaran siswa aktif.

Guru tidak diberikan dasar filosofis, bahwa keaktifan bukan sekedar atau selalu belajar kelompok atau berpasangan. Seyogyanya, belajar mengaktifkan secara  fisik, sosial emosional, dan mental. Lebih lengkap: Keaktifan fisik dicapai melalui inkuri pencarian bahan/materi, menyiapkan kerja, dan sebagainya.  Keaktifan  Sosial mencakup bagaimana bekerja sama dalam berbagai situasi dan berbagai kegiatan. Ia secara tidak langsung berinteraksi dengan  orang lain (orang dewasa, teman sebaya). Dalam bersosialisasi  ia belajar bergaul, bekerjasama, berbicara dengan orang tak dikenal, orang yang memiliki kompetensi (berkembanglah kemampuan berkomunikasi, bahasa komunikasi, memperluas pergaulan, mengendalikan diri, munculnya keberanian, ketahanan mental, kegigihan).  Keaktifan intelektual melalui berbagai alat-alat berpikir dengan menggunakan berbagai keterampilan-keterampilan intelektual . Terkembangkanlah kemampuan mendengar orang lain, berbicara dan menyampaikan gagasan, berfikir untuk solusi, mempertajam penglihatan, dan sebagainya (yang sebenarnya berbagai keaktifan itu tak terpisah, demikianpun dalam aktifitas dan pengembangannya terjadi secara simultan).

Itu hanya satu contoh!

Banyak contoh lain, misalnya: konsep mutan lokal (kurikulum muatan local) dikaitkan konsep “Link and Match” , kurikulum berbasis kompetensi, kurikulum tingkat satuan pendidikan, Pembelajaran AKIK, pembelajaran PAKEM, PAIKEM, Kontekstual, Kooperatif, dan sebagainya  dan sebagainya (masih banyak lagi). Penulis juga memiliki konsep pembelajaran “JUMINEM” lho, tapi tidak perlu penataran!  Intinya tetap sama guru adalah objek penataran, yang menatar pengawas/penilik dan berbagai pejabat lain (catatan Widyaiswara kebanyakan berasal dari mantan pejabat , mantan guru, barulah di tahun-tahun 2000an ada perubahan siapa-siapa yang bisa menjadi widyaiswara, itu juga dulu lho!). Kenyataan ini berpengaruh terhadap bagaimana ia mendaur ulang pengetahuan lama (mantan guru, pengawas dari guru, pejabat dari guru) ia dibarukan hanya melalui penataran, selanjutnya ia beraksi ria dan beorasi didepan guru-guru yang setiap hari bergelut dengan kegiatan belajar mengajar!  Tentu, rasa sensitivitas widyaiswara dalam mengkaitkannya dengan situasi lapangan tidak mudah, bukan berarti tidak bisa.

Beberapa tahun ini, guru-guru didorong melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Bahkan, hasil pengamatan, banyak widyaiswara yang melakukan penataran, semiloka,  dan lokakarya PTK. Hasil pantauan sementara, apa yang di lakukan guru di lapangan, penelitian terkonsentrasi ke perbaikan  hasil nilai. Penelitian berhasil bila hasil belajar (nilai) meningkat, melampaui standar ketuntasan minimal??? Andai setiap penelitian memperoleh peningkatan hasil belajar, maka tentu hasil belajar secara menyeluruh akan meningkat, apalagi penelitian dilakukan berulang-ulang?  Sebagai refleksi, dalam penelitian positif (misalnya: eksperimen) untuk meningkatkan hasil belajar 1 (satu digit) memerlukan waktu berbulan-bulan, itupun akan segera menurun seiring tidak intensifnya replikasi pembelajaran (setelah penelitian), dengan cepat situasi kembali ke asalnya. 

Satu hal lagi, PTK dilakukan untuk memperbaiki/menyelesaikan permasalahan, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran (sedangkan hasil, diasumsikan meningkat linear dengan perbaikan proses). Kembler (2000), menguraikan secara komparatif “antara action research dan action learning/teaching”. Dimungkinkan, kenaikan/peningkatan hasil belajar bukanlah hasil penelitian, tetapi adalah hasil kegiatan belajar siswa/mengajar guru, jadi bukan hasil penelitian (tindakan  perbaikan pembelajaran, tentu tidak secara cepat memperoleh hasil/perlu proses).

Mengapa guru akhirnya melakukan PTK demikian? Ya, karena mereka menerima konsep PTK adalah peningkatan hasil belajar, dengan indikator keberhasilan PTK adalah hasil (mereka tiak diberi konsep esensial PTK adalah penyelesaian masalah, perbaikan, dan peningkatan), jadi tidak sekedar hasil belajar (nilai).  Sekali lagi, ini hasil deseminasi hanya bersifat artifisial (mungkin terbatasnya waktu penataran atau pelatihan sebagai penyebab).

Beranilah guru!

Sikap menerima apa adanya, patuh, taat, menyebabkan guru menjadi objek yang tidak pernah habis. Bila, sikap guru pasif seperti ini kemajuan/peningkatan akan jauh dari harapan. Untuk itu, rekan guru beranilah untuk berubah, beranilah untuk mencoba melakukan hal baru, pemecahan masalah kelas secara mandiri (bukan berarti tidak bertanya pada pihak lain). Guru harus berani membebaskan diri dari keterkungkungan. Guru harus rajin membaca, berinteraksi dengan pihak lain, bersikap kritis terhadap diri sendiri, senantiasa merefleksi diri untuk menemukan kekurangan, dan segera bergerak untuk  memperbaiki dirinya dan memperbaiki kinerjanya.

Guru memiliki kewengan untuk menjadi guru yang merdeka  dalam merencana, melaksanakan, dan menilai hasil kinerjanya (meskipun pemerintah juga memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja guru). Guru harus membaca lengkap isi undang-undang sistem pendidikan nasional dan undang-undang guru dan dosen. Guru harus mampu menempatkan diri secara proporsional, tentu demikian seluruh stake holder pendidikan nasional, hendaknya mampu menempatkan sesuai proporsi masing.

Saat ini kesejahteraan guru sudah meningkat, meskipun belum seperti harapan,  namun peningkatan kesejahteraan perlu disyukuri dengan meningkatkan kualitas diri dan kinerjanya. Bergeraklah guru sahabat semua orang, bergeraklah dan beranilah bergerak memperbaiki diri (kalau sudah baik meningkatlah). Peningkatan kita sebagai insane pendidik, akan mengakselerasi kualitas pendidikan kita segera mengejar ketertinggalan.

Saya yakin, saatnya akan tiba!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar