Abstrak
The teacher, parent, and we are is individual often unawareness what we do it is always observed, identified, so imitated by children. The children Percepsion toward us to become positive while we positive, but the children be negative when he saw us negative. Again, we usually like children in the uniform in the behavior, we do not like some children differ from others, so we knowing that organism always different and he want learn developmentally appropriate.
It is Chain that one, we must reorientation how attitude. We must support the children potential appropriate. We vission often fragmented, but we hope it is integral still. How we guidance children actualization potential with education for all into positive example and the positive character building.
The profesion teacher always improving and oriented of vission, and growing up on job, commited to vocation and responsibility, because they know that it is overall the teacher always be identified and imitated by the children.
Pendahuluan
Fenomena yang marak akhir-akhir ini, antara lain: (1) banyak pendidik tertangkap melakukan perbuatan mesum baik di lingkungan sekolah maupun di losmen, (2) aksi kekerasan oknum guru terhadap siswanya, (3) pelecehan seksual guru terhadap siswa yang belum baliq, (4) pesta narkoba anak sekolah, (5) dan sebgainya. Faktanya fenomena tersebut menjadi menu sehari-hari anak, mengingat terbukanya akses informasi, baik melalui media televise, radio, malah, atau koran.
Hal tersebut bukan lagi sebagai situation specific (situasi dan kondisi khusus), tetapi justru tersaji secara vulgar dan umum di hadapan anak yang dengan mudah tertangkap oleh indra anak tanpa batas usia. Menu tersebut sulit dibendung oleh orang tua dan sekolah, bahkan dianggap hal biasa.
Kasus lain yang kurang disadari adalah adanya perilaku-perilaku orang tua dan sekolah yang sering melakukan upaya-upaya pragmatis untuk mengarahkan anak, missal: (1) orang tua menakuti anak digigit kucing atau anjing, ditakuti akan ada setan, ada gendruwo, kunti lanak agar anak-anaknya mau makan, (2) guru menakuti anak akan diberi hukuman jika tidak melaksanakan tugas, (3) perlakukan kekerasan orang tua terhadap anak jika tidak menurut, (4) perilaku ironis, misal: guru tidak disiplin sementara ia mengharuskan anak untuk menuruti aturan. Orang tua menunut anak disiplin dan patuh pada aturan, sementara ia sering secara tidak sadar melanggar traffic light ketika naik motor bersama anak.
Dua cluster contoh di atas menunjukkan, bahwa umumnya anak berada pada lingkungan yang kurang mendukung mereka ke arah perkembangan positif. Hal tersebut semakin subur dengan sajian program kurikulum dan pembelajaran yang artificial, pragmatis, dan orientasi hasil dibanding orientasi proses menjadinya positif anak.
Banyak orang tua, pendidik, dan pengambil kebijakan yang memiliki paradigma berpikir sekolah bertujuan menjadikan anak “PINTAR” atau “PANDAI” dalam kemasan “BERPRESTASI” dengan berbagai indicator yang yang secara nyeta mengkondisikan anak dalam posisi berpacu dalam prestasi dimaksud. Contoh: (1) orang tua menuntut anak memperoleh ranking bagus di kelasnya, (2) guru memacu murid untuk belajar menguasai berbagai konsep dalam rangka lomba-lomba, (3) program sekolah berorientasi menjadikan anak juara diberbagai bidang, bahkan sering terjadi eksploitasi berlebih terhadap anak-anak bertalenta tanpa memperhitungkan terjadinya “Creativity droup”. Di masa-masa datang karena jenuhnya menjadi yang terbaik.
Pada dimensi penerapan kebijakan kurikulum, sering terjadi fragmentasi pembelajaran. Masing-masing mata pelajaran memiliki misi yang kurang saling mengkait dan kurang mendalam. Misal: pengembangan moral lebih dibebankan pada mata pelajaran Agama dan PPKn (atau berbagai nama yang sering berganti-ganti), sementara mata pelajaran IPA, Matematika, IPS kurang dikaitkan dengan moral, meskipun sebenarnya moral berkembang di segala lini kehidupan.
Kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan apa yang dilakukan oleh orang tua, guru, sekolah, dan pengambil kebijakan. Akan tetapi, keberadaan anak dalam lingkungan dan situasi yang tidak kondusif terhadap perkembangan anak secara komprehensif menjadikan model pendidikan berkembang tidak seimbang. Di satu sisi siswa dituntut berprestasi, di sisi lain perkembangan moral menjadi terabaikan. Program pendidikan akhirnya berjalan secara parsial tanpa arah yang menyatu, yaitu terbentuknya manusia seutuhnya.
Penyeragaman
Pada kasus ini, anak melihat bagaimana guru dan pegawai pada umumnya tiap tahun mendapat seragam baru, tetapi dalam pelaksanaannya jarang kita temui mereka menggunakan seragam yang sama (PSH tidap tahun baru, tetapi mereka memakainya tidak bersamaan), sehingga pengadaaan seragam menjadi mubazir. Belum lagi bila pejabat memberikan instruksi, misal: memakai pakaian batik pada hari kamis, maka instansi di bawahnya akan berlomba membeli seragam batik dan hanya berjalan beberapa waktu kemudian hilang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kerja tanpa konsep dan arah yang jelas, bekerja mengandalkan otoritas tanpa pemikiran matang dan konseptual tentang berbagai kebijakan yang dihasilkan.
Penyeragaman ini terjadi di banyak lini, meskipun di era desentralisasi yang seharusnya dimaknai mengatur diri sendiri. Faktanya mereka yang memiliki kewenangan mengatur diri sendiri tidak menyiapkan konsep matang, sementara pihak lain tetap menginginkan keseragaman.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), di satu sisi setiap satuan pendidikan diharapkan mampu menyusun kurikulumnya sendiri dengan berpedoman pada acuan dan standard nasional, faktanya banyak sekolah yang tidak mampu, akhirnya hanya meniru contoh sementara bila menyusun berbagai kurikulum tambahan justru tidak konseptual untuk apa kurikulum itu ditambahkan?
KTSP ini menjadi ironis, manakala di semua jenjang pada akhirnya harus mengikuti Ujian Sekolah Bertaraf Nasional (USBN) atau Ujian Nasional (UN) yang justru memacu penyeragaman. Sekolah dan guru-guru melakukan pengabaian perkembangan moralitas anak dan perkembangan kepribadian manusia Indonesia seutuhnya, manakala mereka mendril muridnya dengan berbagai prediksi materi ujian dalam label tes uji coba (try out). Akibatnya sekolah dan guru kelas-kelas akhir melakukan pengabaian pada mata pelajaran yang tidak di UN atau USBNkan yang nota bene adalah berbagai mata pelajaran yang justru berisi kajian-kajian pembentuk moral, etika, dan estetika.
Program desentralisasi semu dengan perangkat daerah yang belum mampu diiringi dengan pengendalian mutu melalui ujian nasional mengakibatkan berbagai dampak negatif. Perkembangan moral menjadi terabaikan, ditunjukkan banyak sekolah yang lebih mementingkan penambahan jam-jam mata pelajaran yang diUSBNkan dan mengabaikan mata pelajaran lain, secara tak sadar kebijakan sekolah telah mengajarkan pada siswa menomordua dan menomortigakan pendidikan yang berorientasi pembentukan moral, etika, dan estetika.
Upaya Reorientasi
Hal yang mendasar perlu direnungkan kembali oleh orang tua, guru, sekolah, dan pengambil kebijakan adalah “Akan dibawa ke mana pendidikan anak kita”. Apakah kita ingin membangun tirani prestasi akademik dengan mengabaikan perkembangan moralitas? Apakah perkembangan moral dan karakter hanya sebagai suplemen atau pelengkap saja? Apakah kita mengembalikan orientasi membangun manusia Indonesia seutuhnya? Tentu seluruhnya memiliki berbagai konsekuensi.
Apabila kita runut kembali tujuan pembangunan Nasional adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Makna manusia Indoensia seutuhnya, tentu tidak hanya membangun fisiknya saja atau penguasaan iptek saja, tetapi seluruh aspek individu meliputi fisik, kognitif, social emosional, dan moral yang secara programatik sebenarnya telah terdesain baik. Tetapi dalam aplikasinya baik dalam aspek programatik tingkat nasional apalagi pada tingkat daerah mulai terdistorsi dan telah terjadi fragmentasi program dengan memilahkan misi masing-masing mata pelajaran yang terpisah secara diskrit, sedang anak sebagai individu memiliki aspek yang terbangun secara holistic komprehjensif.
Uraian singkat tersebut mendorong sebuah gagasan upaya reorientasi penyusunan programatik yang mampu menata jalannya pendidikan secara menyeluruh dan menyatu selaras dengan kondisi nyata bagaimana anak berkembang. Sinkronisasi program dan hakikat perkembangan anak merupakan sebuah ide solusi. Di sisi lain bagaimana rancangan programatik yang dapat menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, social, budaya yang multi kultur dan mengglobal tanpa sekat.
Hole Part Hole
Dalam permainan golf kita mengenal istilah “Hole in One” , pada tulisan ini penulis ambil satu konsep “Hole part Hole”, yang penulis maknai: Kita memiliki tujuan (Visi) yang terfragmen dalam berbagai bidang, akan tetapi bagian-bagian tersebut harus tetap merupakan visi atau tujuan itu sendiri. Konsep ini mengajak seluruh stake holder pendidikan memiliki kemampuan untuk senantiasa menyatukan berbagai program dan berorientasi pada satu tujuan/visi yang jelas, dalam konteks ini adalah membangun manusia yang utuh tentu melalui konsep yang utuh pula.
Konsep yang utuh teranalisis dan terbagi dalam program-program kecil, tetapi setiap program kecil bukan menjadi program yang terpisah, tetapi program yang bertugas mencapai tujuan-tujuan kecil yang bila disatukan akan menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan besar, yaitu tujuan nasional kita. Contoh: untuk membentuk moral disiplin, maka tujuan membangun moral disiplin menjadi tanggung jawab seluruh bidang studi, bukan hanya milik pendidikan agama dan pendidikan moral pancasila dan kewarganegaraan. Misal: Pembentukan moral disiplin terbangun dari contoh guru dan orang tua yang disiplin yang dilakukan secara terus menerus bukan sesaat, setiap kajian dalam mata pelajaran mengacu pada moral disiplin, skedul dilaksanakan secara konsekuens, tugas-tugas sesuai jadwal, dan sebagainya.
Bagaimana implementasi dari konsep tersebut? Ini yang menjadi persoalan krusial, karena ide tersebut terimplementasi oleh berbagai sumber daya yang terdiri dari individu-individu yang memiliki ego masing-masing dan sering mereka tidak mau menurunkan ego masing-masing. Pameo kemandirian dijadikan sebagai paradigma berpikir yang justru menjadikan mereka manusia egois. Mereka kurang dapat bekerja sama, kurang mampu menyatukan konsep, kurang mampu melaksanakan tugas yang mereka rasa bukan bidang di satu sisi, di sisi lain justru ia merasa mampu melaksanakan semua konsep tanpa bantuan pihak lain. Mereka belum berada pada taraf “Interdependensi”, konsep ini menuntut individu menyadari bahwa setiap orang memiliki ketergantungan mutlak terhadap orang lain dengan berbagai kelebihan dan kekurangan, setiap orang memiliki kemampuan terbatas sehingga memerlukan pihak lain. Guru agama memiliki saling ketergantungan dengan guru IPA, misal: ketika wudlu harus hemat air, memakai sumber-sumber leistrik secara hemat. IPS-Agama-PPKn memiliki ketergantungan, misal: dalam hidup kemasyarakatan (IPS) perlu saling hormat, tolong menolong, tenggang rasa (PPKn), menghormati orang lebih tua, saling mengingatkan berperilaku baik (Agama-PPKn). Intinya setiap mata pelajaran saling mengkait dalam satu jalinan.
Pendidikan Karakter dan Moral Terpadu
Rusnak (1998, 9-45) menyatakan pendidikan karakter bukanlah sebuah mata pelajaran . Ia berkembang dalam kehidupan sekolah yang terjadi secara terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran. Konsep ini menyatakan, bahwa setiap mata pelajaran memiliki misi yang sama dalam mengembangkan karakter dan moral anak dengan senantiasa mengintegrasikan program pengembangan pendidikan karakter dan moral dalam setiap pembahasan di seluruh mata pelajaran yang ada di sekolah. Tierno (dalam Rusnak, 1998:57) menyatakan sebagaimana disampaikan oleh Herbert Spencer, pendidikan memiliki objek yaitu membangun karakter. Tiadalah arti ilmu yang dikuasai seseorang, manakala individu tersebut tidak memiliki karakter. Tierno selanjutnya menyarankan untuk lebih mengedepankan membangun lingkungan kelas yang positif untuk membangun individu yang positif (dalam Rusnak, 1998:57).
Kebiasaan berpikir positif, lingkungan positif, afirmasi positif merupakan factor penting dalam membangun sikap positif (Dornan dan Maxwell, 1996). Selanjutnya Berk (1993: 25-28) menyatakan individu berkembang dan dibentuk lingkungan, diawali pemikiran dan kerja dengan diri sendiri (microsystem), selanjutnya lingkungan keluarga, teman sepermainan, tetangga dekat (mesosystem), selanjutnya meluas ke keluarga besarnya, tetangga jauh (exosystem), terakhir adalah nilai, hukum, kebiasaan (macrosystem). Microsystem berkenaan dengan aktivitas dan pola interaksi di lingkungan sekitar anak, mesosystem hubungan antara anak dengan lingkungannya, exosystem berkenaan pengaruh pengalaman (tempat kerja orang tua, puskesmas), macrosystem berkenaan dengan nilai, hukum, dan kebiasaan atau budaya yang mempengaruhi pengalaman dan interaksi.
Developmentally Appropriate Practice
Sue Bredekamp (1987) menyatakan pendidikan pada anak mengikuti pada dua kesesuaian, yaitu kesesuaian terhadap usia dan kesesuaian individu. Kesesuaian dengan usia, bahwa secara sekuensial perkembangan anak dapat diramalkan sedang kesesuaian individual, bahwa setiap individu memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda.
Dalam implementasinya pendikan terjadi karena proses interaksi antara anak dengan anak, anak dengan orang dewasa (orang tua, guru, dan pejabat), dan materi. Interaksi ini terjadi tidak hanya hubungan satu arah, tetapi multi arah dan saling mempengaruhi. Perintah guru harus diikuti perilaku guru sehari-hari, sehingga perintah menjadi bermakna dan terdapat respek anak terhadap guru. Demikian juga peran orang tua, tidak mungkin meminta anaknya belajar, sementara ibunya asyik melihat sinetron. Hubungan dan interaksi terjadi secara sklikal spiral, yaitu timbal balik dan senantiasa kembali kepada basik, yaitu: rutin, kontinyu, dan bukan perilaku pragmatis.
Berk (1987) anak terbentuk dari lingkungan di mana ia berada. Lingkungan bergerak dari lingkungan diri sendiri, keluarga, tetangga dekat, sekolah, tetangga jauh, struktur masyarakat, dan semakin meluas. Lingkungan inilah yang membentuk karakter anak. Lingkungan yang buruk akan membangun anak buruk, demikian sebaliknya. Seyogyanya para orang tua dan guru dan seluruh stake mholder pendidikan dan pejabat secara kolegial membangun lingkungan ini menjadi positif untuk membangun anak positif.
Guru profesional anak aktif membangun diri
Pendekatan konstruktivisme, menyarankan pembelajaran pada anak bukanlah menuangkan dan mentransfer ilmu pengetahuan. Pembelajaran adalah, bagaimana memfasilitasi anak mencari dan menemukan untuk senantiasa membangun secara mandiri. Bagaimana memaknai apa yang dilakukan siswa, lebih penting dibanding penuaangan dan pengisian pengetahuan ke otak anak.
Guru profesional memiliki ciri: merancang pembelajaran seuai prakek anak, penguasaan materi, penguasaan bagaimana membelajarkan siswa, mengembangkan diri, bekerja maksimal dan disiplin, melayani seluruh siswa, komitmen dan bertanggung jawab. Profesionalitas tidak pernah menunjuk pada kemampuan menuangkan ilmu pengetahuan, tetapi justru bagaimana melayani anak sesuai potensi, memilih dan mengembangkan pembelajaran yang diyakini mampu mengantar siswa menguasai kompetensi yang diharapkan. Guru yang memiliki kebiasaan membaca, mempertunjukkan secara terus menerus kompetensinya, maka anak yang pada taraf identifikasi diri akan terdorong meniru teladan guru. Guru terbiasa membaca, akan mendorong untuk suka membaca. Guru menulis tertib, siswa akan menulis tertib, dan sebagainya.
Clousure
Manusia kecil (anak) bukanlah miniatur orang dewasa, ia belum mampu memilah mana yang baik dan buruk. Seluruh fenomena alam mereka serap dalam alam persepsi mereka (orang tua mengatakan di tempat gelap ada setan, maka anak mempersepsi ditempat gelaplah ada setan, maka ia akan tekut berada di tempat gelap). Dari persepsi akan terbangun kesiapan untuk menerima berbagai pengetahuan. Berlatih dengan bimbingan, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan akan mempermudah individu memperoleh pemahaman dan memperoleh ebrbagai kebiasaan dan terbentuklah berbagai nilai dan penghargaan untuk mampu menerapkan dan mengembangkan diri dalam berbagai aktivitas yang lebih kompleks. Berbagai kemampuan dan keterampilan diorganisis dalam tahap penganalisaan untuk memperoleh kemampuan mengadaptasi ke berbagai bentuk dan pada akhirnya kemampuan menilai mendorong individu mampu memiliki jati diri untuk berkreasi dan membuat sesuatu yang lebih baik.
Hierarki belajar tersebut tidaklah sulit, manakala setiap stake holder pendidikan mau menurunkan ego masing-masing untuk bersama membangun sebuah disain pembelajaran menyeluruh (bukan hanya sekolah) dan membangun lingkungan yang membelajarkan. Kultur masyarakat primordial sebenarnya mempermudah bila mereka yang memiliki kuasa dan wibawa memberikan contoh perilaku yang mendidik.
Akhirnya, semoga tulisan ini tidak berhenti sebagai wacana tetapi menjadi pemicu dan pemacu pemikiran lain ke arah pembentukan lingkungan positif.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, Anne and Urbina, Susana, Psychological Testing, New
Berk, Laura, Child Development,
Dornan, Jim dan Maxwell, C. John C. Strategi Menuju Sukses.
Covey, R Steven, 1997, The 7 Habits of Higly Effective People, Terj.
Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Sistem Penyelenggaraan SekolahBertaraf Internasional untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas-Direktorat Managemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Dornan, Jim dan John C Maxwell, 1988, Strategi Menuju Sukses, USA: Network Twentyone.
Hamalik, Oemar, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Hurlock, B,
Kitano, K, Margie and Kirby F, Darrell, Gifted Education-A Comprehensive View, Boston/ Toronto: Little Brown and Company, 1986.
Miller,
Monks, FJ ;Knoers AMP; Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan-Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta:
Munandar, Utami, 1999, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: Rineka Cipta.
Rusnak, Timothy, An Integrated Approach to Characgter Education,
Rose, Collin and Malcolm J, Nicholl, Accelerated Learning for The 21st Century-The Six-Step Plan Unlock Your Master Mind,
Semiawan, R. Conny, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat,
-------, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah-Petunjuk Bagi Guru dan Orang Tua,
-------, Pendidikan Anak Pada Era Global,
Stoltz G. Paul, 2000, Faktor Paling Penting dalam Meraih Sukses Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang,
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar