Jumat, 22 Oktober 2010

Sendi-Sendi Pembelajaran Terpadu

(Seri Pembelajaran Terpadu-04)

Karakteristik Pembelajaran Terpadu

Pembelajaran terpadu merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas pembelajaran (Quality Enhancement.). Sebagai suatu pembaharuan dalam upaya perbaikan proses pembelajaran, jika kita cermati pembelajaran terpadu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Berpusat pada anak (Child centered)

Pemusatan pembelajaran pada anak meliputi pemilihan tema, sumber bahan, kegitan, urutan, dan sebagainya senaniasa melibatkan anak. Kepentingan anak melebihi kepentingan guru dengan murid, maka kebutuhan muridlah yang diutamakan. Berpusat bukan berarti menyerahkan, tetapi berpusat bermakna melakukan segala hal terkait dengan konteks proses pembelajaran anak adalah kata awal dan kata akhir. Konfirmasi dan kesepakatan anak secara bersama-sama dengan guru merupakan kata kunci. Mengapa? Karena proses pembelajaran, aktor atau pemeran utama atau yang melaksanakan pembelajaran adalah anak.

Keterlibatan ini membuat anak diutamakan sehingga ia memiliki rasa di libatkan, karena dilibatkan ia akan merasa dihargai, setelah mereka merasa dihargai, ia akan merasa memiliki (sense belonging), rasa memiliki inilah menjadi pendorong munculnya kebutuhan atau motivasi berprestasi (need for achievment).

2. Memberikan pengalaman langsung (Otentik)

Melalui penjelajahan tema, murid memiliki kesempatan berinteraksi langsung dengan bahan kajian, pengetahuan, konsep-konsep secara langsung. Apa yang seharusnya dikuasai murid, bukan pemberian dan penjelasan tema. Informasi yang diperoleh beifat otentik karena berdasarka fakta yang dilihat dan dialami langsung.

Rasa memiliki dan kebutuhan untuk berprestasi dan dilakukan secara langsung dalam praktek kehidupan mereka, maka mereka akan mudah untuk memperoleh pemahaman. ”When I hear and I forgot, when I see and I remember, and when I do and I understand, finally when I reflect and I improve). Kalimat bijak filsuf China ini selaras dengan pembelajaran terpadu yang mengarahkan pada kegiatan kerja dan dalam konteks alami, sehingga mempermudah meninjau kembali untuk selalu memperbaiki diri.

3. Pemisahan bidang studi tidak begitu jelas

Bertitik tema, murid mempelajari penjelajahan, discoveri inkuiri terbuka memungkinan terjadinya lintas bidang studi, lintas konteks, lintas lingkungan, sehingga secara nyata batas bidang studi menjadi trasnsparan bahkan tertembus secara integrasi.

Tertembusnya batas-batas tidak hanya batas bidang studi atau mata pelajaran, tetapi juga tingkat kualitas pengetahuan dan keterampilan. Contoh di atas menunjukkan anak yang bermain sepeda sering tidak dapat dibatas tingkat keterampilannya. Anak yang tengah asyik belajar tidak sengaja ia telah menembus tingkat penguasaan minimal yang sebenarnya di targetkan. Contoh lain: ketika anak belajar dengan mengambil materi di internet, tidak sengaja mereka mengembangkan kemampuannya untuk melakukan link-link ke berbagai situs, sehingga ia memperoleh kemampuan yang tidak dapat dibatas layaknya kurikulum konvensional yang telah tertata rapi.

Proses inilah yang sering disebut ”Experiences Curricullum” yang tak mampu membentuk kemajuan belajar siswa, tetapi tetap dalam kealamiahan, sehingga laju perkembangan belajar sesuai kemampuan anak dan ini selaras dengan konsep Bredekamp dalam Developmentally Appropriate Practice.

4. Menyajikan berbagai konsep bidang studi dalam suatu pembelajaran

Konsekuensi pembelajaran terpadu melalui penjelajahan tema, maka konsep-konsep dapat dipelajari secara simultan (bersama/serentak) dalam rangkaian hubungan yang bermakna tanpa label bidang studi.

Di atas diuraikan bagaimana proses belajar yang kadang tak terbendung, namun pada konteks berbeda guru harus mampu mengatur dan mengukur kemajuan siswa agar tidak berlebihan dan mengganggu perkembangan aspek-aspek lain, namun pengaturan dan pengukuran tidaklah dipaksakan yang justru berdampak anak merasa dibatasi, namun pemberian saran-saran dan penggambaran-penggambaran ini justru lebih mengena.

Mungkin pembelajaran akan berkembang layaknya sebuah ”Unit” atau ”Proyek” yang harus dikerjakan siswa. Tidak mengapa asalkan guru (Indonesia) bisa mengembangkan transaksi-transaksi sehat agar anak juga mampu mengembangkan kemampuan mengendalikan emosinya (delay gratification) sehingga justru berdampak pada kemampuan siswa meningkatkan tingkat pengendalian diri.

5. Bersifat luwes

Belajar terpadu memungkinkan penggunaan waktu, tempat, sumber, kegiatan, dan urutan yang dirancang dan dilaksanakan secara bersama antara guru dengan murid mengakibatkan pembelajaran menjadi fleksibel dan luwes tanpa batasan-batasan yang formal.

Perancangan pembelajaran dalam kurikulum sering diskrit dan membatasi ruang gerak perkembangan anak. Pembelajaran terpadu dapat menembusnya melalui kebiatan belajar yang bermakna dan utuh. Sebuah keterampilan utuh tentu akan menembus batas-batas kurikulum yang telah tertata. Biarkanlah anak berkembang menurut potensinya, tentu dengan kesepakatan waktu tidak mengganggu berbagai kegiatan lain, tidang mengganggu pelajaran lain (misal bertabrakan dengan mata pelajaran yang diampu guru lain). Kebiasaan berpikir luwes juga akan berkembang dengan kemampuan mengatur diri dalam menata waktu, mendelay kepuasan sesaat, dan menyesuaikan dengan berbagai keperluan seluruh yang terlibat dalam pembelajaran.

Keluwesan ini juga akan mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir luwes, berpikir fleksibel, tidak mudah patah hati, pengembangan kemampuan menghargai pihak lain.

Belajar toh dapat dilakukan atau dilanjutkan di rumah, anak akan berpikir demikian. Artinya anak melatih berpikir dan berlaku bijak!

6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai minat dan kebutuhan anak

Keluasan dan kedalaman penjelajahan pada akhirnya tergantung minat dan kebutuhan anak, sehinga hasil perolehannyapun tergantung minat dan kebutuhan anak. Anak yang memiliki minat dan kebutuhan yang lebih akan memungkinkan mereka memperoleh hasil belajar yang lebih banyak, demikianpula sebaliknya. Disamping itu pembelajaran terpadu hasil belajarnya bukan hanya konten tetapi sekaligus proses. Cain dan Evans (1990) pada anak usia sekolah dasar bagaimana memperoleh informasi atau pengetahuan lebih penting dari informasi atau pengetahuan sendiri. Hasil belajar tidak hanya efek instruksional tetapi jugaefek pengiring (nurturant Effect), berupa sikap ilmiah, keseriusan, keteguhan hati, motivasi belajar, dan lain-lain.

Belajar akan berkembang sebagai tamasya otak, tamasya keterampilan, tamasya sikap, dan berbagai tamasya tergantung bagaimana siswa enjoy dalam belajar. Belajar bukan lagi menjadi sebuah beban apalagi keterpaksaan, belajar adalah perbuatan yang menyenangkan dan segala hal yang menyenangkan akan di ulang. Ini hukum pengulangan dalam konsep belajar behavioristik pun masih dapat muncul dalam konteks pembelajaran terpadu.

Kelebihan Pembelajaran Terpadu

Memperhatikan ciri-ciri atau karakteirstik pembelajaran terpadu, maka dapat diketahui kelebihan-kelebihan pembelajaran terpadu dibanding pembelajaran konvensional, antara lain:

1. Pengalaman dan kegiatan belajar anak akan selalu relevan dengan tingkat perkembangan anak. Relevansi belajar mendorong terjadinya proses belajar yang menyenangkan dan menerjadikan pelintasan batas yang alamiah dan menyenangkan.

2. Kegiatan yang dipilih sesuai dengan dan bertolak dari minat dan kebutuhan anak. Kebutuhan yang dipenuhi menumbuhkan kenikmatan, kenyamanan, penghargaan, dan menumbuhkan motivasi-mitivasi baru dalam belajar.

3. Seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi maka, sehinga hasil belajar akan dapat bertahan lama. Kebermaknaan memang bersifat lintas, namun perlintasan berbagai proses dan konten dalam belajar justru membuat siswa memperoleh berbagai pengalaman hidup dan inilah pengembangan riil kurikulum berbasis pengalaman.

4. Pembelajaran terpadu menumbuhkan kembangkan keterampilan berpikir anak. Serba lintas dalam berbagai aspek dan proses belajar mendorong perkembangan berbagai alat-alat pikir/kognitif secara alami. Pembelajaran terpadu memungkinkan anak berceritera, bermetafora, belajar berbasis perbandingan melalui lawan-lawan biner, menghayal dan bercerita, berpetualang dan bertamasya dalam berbagai aspek perkembangan anak.

5. Menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui dalam lingkungan anak. Berpikir praktis pun berkembang melalui pembelajaran ini. Bahkan siswa mampu mengembangkan bagaimana memilih prioritas tidak sekedar pragmatisme, karena kealamiahan dan pengalaman langsung ini menunjukkan kepada siswa real kehidupan yang sesungguhnya.

6. Menumbuh kembangkan keterampilan sosial anak seperti kerja sama, toleransi, komunikasi, dan respek terhadap gagasan oranglain. Proses curah pendapat, pelibatan dalam berbagai kegiatan, mendorong siswa juga akan berupaya berlaku sama dengan apa yang ia alami, maka secara alamiah pula ia akan mampu hidup bersama dengan yang lain, menghargai orang lain, saling tolong menolong, dan sebagainya.

Keterbatasan Pembelajaran Terpadu

Segala hal yang bersifat ideal dalam pelaksanaan pembelajaran tentu memiliki keunggulan dan memberikan harapan peningkatan proses dan hasil belajar. Pembelajaran terpadu memberikan kerangka kerja bukan hanya untuk belajar, namun juga memberikan bekal hidup di masyarakatkan. Faktanya setiap unsur dalam kehidupan tentu memilki berbagai keterbatasan. Pelaksanaan pembelajaran terpadu terutama di Indonesia memiliki berbagai keterbatasan.

Keterbatasan pelaksanaan pembelajaran terpadu, antara lain: (1) keterbatasan terklait dengan penyelenggaraan, artinya pelaksanaan pembelajaran menuntut berbagai konsekuensi, antara lain: (a) komitmen guru sebagai guru, artinya guru tidak sekedar mengajar, tetapi ia harus mempersiapkan secara cermat, melaksanakan, dan memantau perkembangan siswa dengan berbagai karakterstiknya, (b) ketersediaan sarana prasarana; harus diakui bahwa sarana prasaran pembelajaran di sekolah-sekolah kita belum seiring dnegan berbagai upaya inovasi pembelajaran, akibatnya sering pembaharuan itu berhenti di tingkat pembicaraan konsep, desiminasi, dan berhenti total dalam tingkat keterlaksanaan secara berlanjut dalam praktek nyata di lapangan, (c) keterbatasan kultural bangsa ini yang mendorong setiap pejabat untuk mengontrol mengakibatkan para guru tergantung, sementara guru yang berinisiatif harus membentur berbagai regulasi.

(2) Keterbatasan konteks pelaksanaan: (a) secara teknis evaluasi yang menuntut guru untuk mengevaluasi tidak hanya hasil tetapi justru pada proses (walaupun ini memang sesuai dengan hakikat evaluasi). Evaluasi tidak hanya pada kompetensi, tetapi juga efek pengiring. Pembelajaran ini memang membutuhkan kergaman evaluasi, konsekuensinya penataan sumber daya manusia yang progresif maju ke depan adalah keniscayaan, (b) mengubah pola pembelajaran dari start mata pelajaran ke start tema atau peristiwa otentik tidak mudah bagi guru. Mereka memerlukan kesadaran bahwa mata pelajaran adalah pengkotakan yang dibuat oleh orang dewasa, sehingga kesadaran pengembalian pembelajaran berbasis tematik atau peristiwa otentik sangat diharapkan.

Keterbatasan lain sebenarnya adalah sikap konservatif dan kurang profesioanalismenya guru dan para pelaksana pendidikan, serta staf pendidikan lain di tingkat menegah ke bawah. Di sisi lain, budaya mengatur, memerintah, memberi petunjuk ini belum berubah. Para pemimpin, pengawas, kepala sekolah masih merasa mereka lebih pintar dibanding guru yang setiap hari bergelut dengan siswanya. Kultur memerdekakan, mendorong, memberi jalan, memberi ruang berprestasi belum tumbuh pada pemimpin-pemimpin level medioker ini.

Landasan Pelaksanaan Pembelajaran Terpadu

Pembelajaran terpadu dilaksanakan berlandaskan pada pemikiran-pemikiran, sebagai berikut :

1. Progresivisme

John Dewey seorang tokoh pendidikan anak yang terkenal dengan semboyan: Learning By Doing dan dibakukan dalam kurikulum ”Progresif” mengamanatkan, bahwa pembelajaran pada anak usia muda hendaknya dikemas dalam suau kerja yang bersifat alamiah (Roeseau), nyata sehingga informasi yang diperoleh anak tidak artifisial. Melalui belajar dengan bekerja siswa memperoleh pengalaman-pengalaman langsung yang bermakna bagi anak. Pandangan ini didukung oleh Pestalozi yang menyatakan bahwa pembelajaran pada anak hendaknya secara informal, sebab secara alamiah anak belum sepenuhnya dapat berperilaku formal, mereka lebih suka bermain (Froubel), sehingga agar tidak timbul hambatan psiologis (Psicological Handicap) anak didorong belajar menurut alam berpikir dan berlaku anak.

Uraian itu lebih terkait pada anak usia kurang dari 12 tahun, sebagaimana konsep kognitivisme Piaget ia belajar dalam proses operasional konkrit yang belajar dalam kerja yang nyata, faktual, dan alamiah.

2. Konstruktivisme

Roesseau menyatakan belajar janganlah dipaksakan, anak hendaknya di dorong untuk belajar secara alamih. Maria Montesori menyatakan belajar terbaik adalah jika anak telah sampai pada masa peka, sebagaimana konsep Hugo Devries yang menyatakan bahwa anak akan cepat berkembang jika belajar sesuai dengan kematangan. Anak jika belum masanya untuk belajar sesuatu akan sia-sia melatihnya, misalnya: anak belum masanya berjalan, maka akan sia-sia melatihnya akan tetapi jika mendekati masanya maka melatihnya akan semakin mempercepat. Teori ini didukung oleh Cain dan Evans (1990) yang menyataan belajar hendaknya mengalami sendiri dan bukan diberikan oleh orang dewasa, sehingga lebih bermakna.

Belajar itu membangun diri sendiri. Jika kita telah memiliki kerangka rumah yang kuat, maka kita sendiri akan mengisinya sesuai dengan disain yang ada di otak kita, akan dibagaimanakan rumah itu tentu sesuai dengan pemiliknya dan pemiliknyatalah yang mengetahui bagaimana membangunn dan menatanya.

3. Developlmentally Approprite Practice

Bredekamp (1997) menyatakan pembelajaran pada anak hendaknya disesuaikan dengan perkembangan anak dan individual masing-masing anak. Kesesuaian dengan perkembangan, maksudnya secara sekuensial perkembangan pada anak dapat diramalkan, maka pembelajaran dapat dirancang dan disesuaikan dengan emosi, intelektual, dan bakat anak yang dapat diramalkan secara umum. Kesesuaian dengan individual, maksudnya belajar pada anak hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan anak. Belajar yang didasarkan pada minat dan kebutuhan, menjadikan anak akan menekuni dan serius dalam belajar sehingga bukan hanya tujuan instruksional dicapai akan tetapi sekaligus efek-efek pengiring.

Kesesuaian dengan perkembangan anak memberikan peluang guru merancang pembelajaran bagaimana yang akan diselenggarakan dengan menyesuaikan terhadap tingkat kecakapan berdasar usia, namun secara individual pada dasarnya dapat didorong untuk berkembang sesuai kapasitas, bakat, dan kemampuan yang dimiliki masing-masing anak.

Prinsip-prinsip Pembelajaran Terpadu

1. Prinsip Penggalian Tema

a. Tema hendaknya tidak terlalu luas tetapi juga tidak terlalu sempit tetapi dapat digunakan memungkinkan menghubungkan berbagai konsep, sehingga konsep-konsep menjadi bermakna. Tema yang terlalu luas akan menyulistkan dalam organisasi materi, sementara tema yang sempit menghambat dalam eksplorasi anak dalam memperoleh berbagai konten dan proses.

b. Tema harus bermakna, artinya tema yang dikaji harus memberikan bekal belajar siswa selanjutnya. Utamakan tema-tema berbasis peristiwa otentik yang diminati anak dan tersepakati bersama, sehingga guru dan siswa menjadi sebuah team yang sedang bertamasya intelektual, sikap, keterampilan, dan berbagai aspek individu lain.

c. Tema sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis siswa. Kesesuaian bersifat relatif tetapi tidak bebas mutlak, karena kemampuan siswa pada dasarnya memiliki level yang teramalkan, yang beda karakteristik bakat, talenta, dan berbagai unsur psikologis, namun pada kasus tertentu guru bisa menemui anak istimewa tinggi dan anak istimewa rendah, inilah kelompok siswa yang meminta perhatian lebih guru.

d. Tema yang dikembangkan dapat menampung minat anak.

e. Tema mempertimbangkan peristiwa otentik yang terjadi di sekitar

f. Tema mempertimbangkan kurikulum yang berlaku, sehinga tidak menyimpang.

g. Tema mempertimbangkan kletersediaan sumber belajar.

Prinsip pemilihan tema tersebut sejalan dengan pendapat Collin dan Dixon (1991:8) yang meyatakan pemilihan tema harus : (1) sesuai minat siswa, (2) minat guru, ( 3) kebutuhan murid yaang dapat ditentukan bersama guru berdasar problem sosial, kelas yang dapt membatu memfokuskan agar masalah dapat diselesaikan, (4) waktu; melibtkan musim atau peristiwa otentik yag terjadi, (5) sesuai dengan pengetahuan utama siswa dalam tahun bersangkutan atau peristiwa khusus, (6) sesuai hrapan kurikulum masyarakat, (&) tersedianya sumber belajar.

2. Prinsip Pelaksanaan

a. Guru bukianlah aktor tunggal yang memerankan sebagai seorang ahli, nara sumber, orator, pengarah yang mendominasi pembelajaaran. Guru hendaknya mampu mengembangkan pembelajaran dari orientasi instruksional ke orientasi Transaksional kerja belajar.

b. Tugas secara jelas didiskusikan antara guru dan siswa. Hasil disepakati dan ditulis secara jeas, manakah tugas individual dan manakah tugas kelompok. Tugas disusun berdasarkan analisis penterjemahan dari tujuan yang akan dicapai.

c. Guru memiliki sikap terbuka dan akomodatif terhadap ide-ide siswa yang terkadang tidak terpikirkan dalam proses perencanaan. Pembelajaran bersifat luwes, jadi jika ada ide pada waktu pembelajarn berlangsung dan ide merupakan hal yang bemafaat, mka ide dapat diterima dan dikembangkan.

3. Prinsip Evaluasi

a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan evaluasi diri sendiri (self assesment) disamping penggunaan teknik evaluasi lainnya.

b. Guru mengajak murid mengevaluasi pemerolehan belajar yang dicapai berdasarkan kriteria pencapaian tujuan yang telah disepakati bersama dalam kontrak.

c. Penekanan evaluasi pada proses dan hasil. Proses akan menunjukkan bagaimana murid memperoleh pengetahuan, sikap, dan pengembangan keterampilan, dan hasil menunjukkan perubahan perilaku aktual setelah pengalaman belajar.

4. Refleksi

Pada pembelajaran konvensional dapak pengiring (nurturent effect) kurang tersentuh guru, sebagai akibat target penyelesaian materi. Untuk itu guru dituntut mampu melaksanakan pembelajaran tercapai secara tuntas tujuan pembelajaran. Guru memberikan reaksi terhadap perilaku siswa pada setiap kejadian yang tidak diarahkan pada aspek yang sempit, tetapi merupakan satu kesatuan utuh yang bermakna. Pembelajaran terpadu memungkinkan hal ini dan guru diharapkan menemukan cara untuk memunculkan ke permukaan hal-hal yang dicapai melalui dampak pengiring.

Belajar konten membuat siswa menjadi buntu karena terlalu terfokus pada angka-angka capaian atau prosentase ketuntasan, sementara belajar proses tanpa konten akan kehilangan arah, karena distorsi pembelajaran yang terlalu lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar